karya Luthfi Bagas Pambudi
Sebuah angkutan umum beroda tiga, menggulirkan roda – rodanya menuju sebuah tempat kumuh yang memiliki gerbang yang terbuat dari seng – seng bekas yang sebagiannya telah berlubang ataupun patah, bahkan roboh. Sekelompok anak berlari riang mengikuti bajaj itu ke salah satu rumah kumuh yang ada di daerah itu, daerah yang dibangun untuk menempatkan beberapa keluarga kurang mampu macam mereka.
Bajaj itu pun berhenti tepat di depan sebuah rumah kumuh yang terbuat dari susunan kardus – kardus bekas dan beratapkan dedaunan semacam daun pada pohon kelapa.
“Ayah, ibu! Akhirnya kalian pulang!” ucap seorang bocah laki – laki berumur 9 tahun.
“Hahahaha, kamu sudah rindu dengan kami, ya, nak?” ujar Ibu, dengan suara yang lemah dan rapuh. Bocah itu segera membantu ibunya berjalan masuk, sementara Sang ayah masih berbicara dengan Supir Bajaj.
“Duh, Yo, aku minta maaf. Aku hanya punya dua ribu rupiah saja.” Kata ayah seraya menyodorkan dua buah uang seribu rupiah yang tampak begitu lecak dan tak layak lagi. Tapi, Sang Supir Bajaj yang bernama Yono itu hanya tersenyum dan menolak uang itu. “Simpan saja untukmu, Min. Aku ikhlas membawa mu dan Istri mu yang sedang terkena penyakit itu. Jadi, lebih baik kau simpan saja. Siapa tahu, sewaktu – waktu, keluargamu membutuhkan uang itu.”
Ayah pun merasa terharu akan kebaikan sahabatnya itu. Ia merasa bergetar di dadanya ketika mendnegar kata – kata peduli dari Sang Sahabat barusan. Hingga bukan salahnya jika ia pun meneteskan air mata haru dan memeluk sahabatnya itu.
Dan, setelah Yono, Sang supir Bajaj mengendarai bajaj jingganya keluar wilayah kumuh itu, ayah segera menghapus air matanya dan berjalan masuk, menuju kedalam rumahnya yang sangat sederhana itu. Ayah segera menghampiri ibu yang sedang terbaring lemas di atas sebuah tembikar sederhana yang menjadi lantai di rumah mereka itu, dengan seorang bocah kecil berumur 9 tahun yang duduk di sisi lemah dan rapuh wanita itu seraya menggenggam tangan Sang Ibu yang tersenyum menatapnya dan beralih kepada sosok ayah yang kini duduk bersama di sebelah anak semata wayangnya, Kiki.
“Ayah, sudah membayar Yono?” kata Ibu dengan lemas. Sebuah selendang lama dan berwarna pudar melingkarkan diri di leher wanita itu, berusaha tuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Dan, sebuah baju tebal bekas yang ayah beli di pasar, dekat daerah perumahan kumuh mereka itu pun membantu Sang selendang untuk menghangatkan tubuh wanita itu.
“Sudah, bu.” Kata Ayah seraya mengelus lembut rambut setengah putih dari Sang pendamping hidupnya itu. Hati ayah begitu rapuh ketika melihat senyum manis Sang Pendamping hidupnya yang sudah menemaninya selama lebih dari 17 tahun berumah tangga. Dadanya terasa sesak, melihat kondisi Istrinya yang semakin hari semakin lemah saja. Padahal, sudah banyak obat alami yang di suapkan ke tubuh Sang Istri, untuk membantunya dalam sembuh melawan penyakitnya itu. Tapi, tak ada reaksi. Dan, kini, mereka baru saja pulang dari Jakarta, untuk mengobati Sang Istri.
Dan tak sengaja, air matanya yang begitu bening dan tulus pun menetes, mengenai pakaian tebal yang tampak bekas, yang dipakai sang Istri.
“kiki, kamu bisa bermain di luar dulu, nak?” kata Ayah, mengganti belaian lembutnya dari rambut Sang Istri ke anaknya, Kiki. “Mungkin, ada sesuatu yang ingin kamu mainkan?” ayah memberikan senyuman hangat yang terasa menerpa wajah Kiki dengan lembut.
Kiki hanya mengangguk. Dan untuk yang kesekian kalianya, ia mengecup pipi ibunya dengan penuh sayang dan cinta. Ya, walau pun ia tahu kalau hal itu tak membantu penyakit yang di derita ibunya mereda. Kiki pun berjalan keluar. Dan, ia pun berhenti di ambang pintu yang berupa kain, dan menoleh kepada ibunya yang memucat, seraya menyunggingkan senyum manisnya, dan berjalan keluar. Tapi, baru beberapa langkah dari pintu kain itu. Sebagian dari diri Kiki enggan untuk keluar, dan memilih untuk mendengar kan sesuatu yang kedua orang tuanya hendak bicarakan. Tapi, sebagian lagi ingin meneruskan langkah kaki kecilnya menuju rumah salah satu teman seperjuangannya.
Tapi, ia menetapkan untuk kembali ke dalam rumah untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Dan, ketika hendak menyibakkan kain yang menjadi pintu rumahnya itu, tiba – tiba saja Kiki berdiri bergeming ketika ia mendnegar ayahnya menyebut – nyebut namanya.
“Aku merasa prihatin kepada Kiki, bu. Aku tidak ingin anak semata wayang kita itu benar – benar terpukul bila ia tahu kalau umurmu sudah tak lama lagi!” kata – kata ayah membuat Kiki makin peansaran hingga ia pun mencoba untuk mendengarkan lebih seksama lagi.
“Jangan berbicara seperti itu, ayah. Ibu tahu kalau umur ibu sudah tak lama lagi. Tapi, jika kita mau dan terus berusaha, mungkin ibu akan dapat tertolongkan.” Kata ibu. Suaranya begitu lemah dan rapuh, hingga sesekali ia terbatuk – batuk kering.
“Ya, mungkin saja itu terjadi! Tapi, kita benar – benar membutuhkan keajaiban untuk kesembuhan mu itu.” Kata ayah. Berbicara agak keras.
“Hmm, keajaiban?” gumam Kiki. Ia menganggukkan kepalanya, entah apa yang ia pikirkan. Tapi, ia segera masuk kedalam rumah, membuat kedua orang tuanya terkejut. Tapi, Kiki tak menyadari itu karena ia berjalan lurus, melewati kain yang menutupi kamarnya. Ia mencari – cari sesuatu di dalam kamar super kecilnya itu. Hingga, beberapa saat kemudian, ia mendapati apa yang ia cari. Di sudut kamarnya, sebuah keramik berbentuk buah jeruk berdiri, tampak memperlihatkan dirinya. “Aah! Itu dia!” Kiki segera mengambilnya, dan berlari keluar rumah secepat kilat. Ia tak menggubris perkataan ayahnya yang bingung dengan tingkah laku anaknya itu.
Kiki terus berlari, melewati pintu gerbang yang terbuat dari seng – seng bekas, dan berbelok ke arah kiri dan menambah kecepatan larinya. Nafasnya terus menderu – deru, bersamaan dengan setiap langkah cepat yang ia ambil. Celengan yang ia bawa itu terpeluk erat di tangannya, sementara isinya bergemerincing ria, sesuai dengan langkah kaki Kiki.
Sinar mentari yang mencubit tak ia hiraukan demi mencari sebuah tempat yang menurutnya bisa menolong ibunya. Hiruk pikuk kendaraan yang bising, mencadi teman seperjalanannya. Dalam benaknya, ia tahu bahwa masih ada keajaiban yang barusan, kedua orang tuanga bicarakan.
Dan, ia pun sampai di sebuah apotik yang tampak sepi itu. Ia segera berlari masuk, dan berhenti di depan sebuah meja kayu yang melebihi tinggi badannya itu. Seorang perempuan cantik berkrudung merah muda memberi ucapan selamat datang kepada Kiki dengan senyumannya yang manis. “Halo, adek. Ada yang bisa kakak bantu?” kata perempuan itu. Suaranya seakan menutupi suara bising dari hiruk pikuk kendaraan yang ada di jalan raya di belakang tubuh Kiki.
“Sebentar, kak!” Kiki segera membanting celengannya itu dan merauk isinya dengan tak sabar. Sebagian isi dari celengan itu adalah uang – uang logam dan beberapa lembar uang seribu rupiah, dua ribu rupiah dan lima ribu rupiah. Ia kumpulkan uang – uang itu dalam dekapannya dan segera ia taruh di atas meja, membuat kakak cantik itu bingung. “Saya mau membeli keajaiban, kak. Ada? Berapa? Ini uangnya.”
Kakak itu tertawa lembut dan memasukkan uang uang itu kedalam kantong plastic dan menyodorkannya kembali kepada Kiki. “Adek, keajaiban nggak ada disini. Jadi, ambil saja uangnya.”
Kiki merasa bingung atas sikap kakak itu. Ia berfikir, mengapa kakak ini tertawa? Tapi, di balik rasa bingungnya itu, tersisip sebuah rasa kekecewaan yang mendalam. Ia sempat berfikir, apakah ia bisa menemukan keajaiban itu, dan membawanya pulang untuk menolong ibunya yang terkulai lemas di rumahnya.
Ah, mungkin di tempat lain, keajaiban itu ada!” ujar Kiki dengan antusias dan bersemangat hingga rasa kecewa yang semula menyelimutinya pun lenyap tertiup angin semangat dari diri Kiki.
Kiki kembali melangkahkan kaki – kakinya yang tak beralaskan itu di sepanjang trotoar yang sesekali mempertemukan dirinya dengan sebuah tiang rambu lalu lintas. Terik matahri di tengah hari itu sangat menyengat kulitnya itu. “Huft, panas! Kenapa cuacanya bisa sepanas ini? Dimana pepohonan yang hijau nan rindak menyejukkan? Aku butuh mereka!” Kiki menendang sebuah kaleng bekas minuman bersoda yang langsung terlempar ke dalam saluran air yang kering. Ia merasa kesal dengan tidak adanya satu pohon pun. Dan itu disebabkan oleh orang – orang egois, yang tak menggunakan otak mereka untuk berfikir! Berfikir untuk tidak merusak alam atau menghancurkannya demi kebutuhan sesaat yang mereka miliki itu!
Dan, langkahnya terhenti di depan sebuah apotik kedua yang ia incar. Dalam hati,ia berharap dapat menemukan keajaiban dan dapat membawanya pulang. Begitu semangatnya ia melagkah, hingga membuatnya jatuh terpleset di lantai yang baru di bersihkan.
“Astaga, adek tidak apa – apa?” kata seorang pria muda yang mengenakan jas putih bersih, dengan sebuah kaca mata yang ia selipkan di dalam kantong di dadanya. Tapi, Kiki hanya menggelengkan kepalanya dan kembali berdiri, seraya di bantu oleh pria muda itu. “Adek mau beli apa?” katanya dengan lembut, walau sedikit tegas.
“Saya mau membeli keajaiban, kak!” ujar Kiki seraya melemparkan senyum lugu-nya kepada pria itu. Dan, pria itu pun membalas senyumnya seraya mengelus – elus rambut Kiki, dan berkata, “Adek, keajaiban itu bukan untuk di beli. Keajaiban itu seharusnya di cari atau di ciptakan dengan suatu usaha yang sangat besar. Keajaiban itu hanya datang kepada orang – orang yang keras berusaha dan tekun dalam berdo’a.”
“Jadi begitu?” ujar Kiki seraya menunduk lemas. Perutnya terasa melilit nyeri. Jantungnya berpacu, seiring dengan rasa takut dan rasa kekhawatirannya terhadap ibunya tersayang. “Berarti, Kiki nggak bisa menolong ibu, dong?” matanya mulai berkaca – kaca, hingga setetes, dua tetes air mata jatuh di pipinya. Rasa gelisah, takut dan khawatir menyerang dirinya hingga membuat dadanya terasa sesak.
Tapi, semua perasaan itu agak berkurang ketika suara Pria itu terasa lembut membelai rambutnya. “Mungkin kakak dapat menolong ibu adek. Tapi, ibunya adek sakit apa?”
“Kiki juga tidak tahu, kak. Yang pasti, ayah dan ibu benar – benar membutuhkan keajaiban. Untuk itulah Kiki pergi membeli keajaiban yang susah di temukan di toko manapun.”
“Kalau begitu, kakak boleh datang kerumahnya Kiki, nggak?” kata Pria itu.
Kiki mendongak, menatap mata Pria itu dan tersenyum kecut. “Boleh, tapi, kakak mau ngapain?” kakak itu hanya tersenyum dan berjalan masuk kesebuah ruangan yang ada di apotik itu. Dan beberapa saat kemudian, ia keluar seraya membawa tasnya yang ia gandengkan pada salah satu tangannya.
“Kakak akan membantu untuk menemukan keajaiban itu. Untuk sesungguhnya, Kiki harus minta kepada Yang Maha Kuasa. Karena di tangan-Nya lah, keajaiban itu datang. Dan kakak hanya sebagai perantaranya saja. Kiki mengerti?” kata Pria itu, berjalan bersisian bersama dengan Kiki yang tampak lega. Mereka pun berjalan menuju sebuah mobil yang langsung membawa mereka menuju tempat Sang Ibu terkulai lemas, yang benar – benar membutuhkan keajaiban itu, sesegera mungkin.
Beberapa pasang mata tampak mengikuti arah yang di ambil mobil itu. Mereka juga tidak segan – segan mengikuti mobil yang berhenti tepat di rumah Kiki.
“Ayah, ibu! Kiki pulang! Lihatlah, siapa yang Kiki ajak!” Kiki berlari keluar dari mobil dan berteriak – teriak riang. Membuat ayahnya segera beranjak keluar dengan cepat dan terpukau melihat pria itu dan sebuah benda mewah yang memiliki roda empat sebagai alat penggeraknya itu.
“Waw! Itu mobil anda, Tuan?” kata ayah, tampak menunduk sopan ke arah Pria itu.
“Ah, pak, tolong jangan panggil saya Tuan. Saya Reza, saya dokter yang akan mencoba untuk menolong istri bapak.” Kata Dokter Reza seraya mengulurkan tangannya kepada ayah.
“Ah, syukurlah. Tapi, maaf, Dokter. Kami tidak punya cukup uang untuk membayar. . . .” kata – kata Ayah terputus oleh Dokter.
“Bapak, bapak tidak perlu membayar saya. Saya ikhlas menolong Istri bapak. Jadi, bagaimana keadaannya?” ujar Dokter Reza.
“Ah, ya, saya lupa! Ayo, silahkan masuk.” Ayah dan Dokter Reza meninggalkan kerumunan orang – orang setempat yang masih memerhatikan mobil mewah itu dengan mata membelalak, untuk segera memeriksa keadaan Ibu, dan mungkin masih bisa menolongnya
Beberapa menit berlalu, Dokter Reza dan ayah keluar bersama dan berjalan menuju mobil. “Bapak, Istri bapak terkena penyakit kanker otak setaium 1. Dan itu masih bisa diselamatkan dengan beberapa terapi yang sangat di butuhkan untuk menghilangkannya. Dan ini, kartu nama saya. Datang saja ke Rumah Sakit yang tertera di dalam sini, dan tunjukan kartu ini kepada petugasnya. Saya akan menunggu dan membantu menyembuhkan Istri bapak. Tapi, itu semua masih berada di tangan Yang Maha Kuasa. Jadi, jangan pernah berhenti untuk terus berdo’a akan kesembuhan Ibu, ya, Pak.” Ujar Dokter dengan ramah dan penuh sopan santun.
“Syukur Alhamdulillah! Terima kasih pak Dokter! Terima kasih!” ujar Ayah seraya memeluk Dokter Reza sesaat dan bersujud syukur akan karunia yang Tuhan berikan kepadanya.
Setelah berpamitan, Dokter Reza pun mengendarai kembali mobilnya dan berjalan pulang, meninggalkan rasa syukur dan kelegaan di hati ayah, Kiki dan ibu, serta seluruh tetangga mereka. Dan keesokannya, mereka pun datang dan menjalankan semua yang di beritahukan oleh Dokter Reza kemarin untuk menunjukkan kartu itu kepada petugas Rumah Sakit itu. Dan, ketika bertemu dengan Dokter Reza, ibu pun segera di tolong dengan beberapa terapi seperti kemoterapi dan lain sebagainya, yang hasilnya. . . . . . Alhamdulillah, sesuatu! Kanker itu lenyap dan tak mungkin kembali! Dokter Reza juga tetap memberikan obat – obatan kepada ibu agar mengkonsumsinya setiap saat, sesuai waktu yang telah tertulis di obatnya.
Dari sini, kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Teruslah berdo’a dan berusaha untuk menemukan keajaiban itu. Jangan pernah menyerah dalam mendapatkan sebuah keajaoban, karena sesungguhnya, keajaiban itu telah ada di depan mata bila kita terus bordo’a dan berusaha.
Bajaj itu pun berhenti tepat di depan sebuah rumah kumuh yang terbuat dari susunan kardus – kardus bekas dan beratapkan dedaunan semacam daun pada pohon kelapa.
“Ayah, ibu! Akhirnya kalian pulang!” ucap seorang bocah laki – laki berumur 9 tahun.
“Hahahaha, kamu sudah rindu dengan kami, ya, nak?” ujar Ibu, dengan suara yang lemah dan rapuh. Bocah itu segera membantu ibunya berjalan masuk, sementara Sang ayah masih berbicara dengan Supir Bajaj.
“Duh, Yo, aku minta maaf. Aku hanya punya dua ribu rupiah saja.” Kata ayah seraya menyodorkan dua buah uang seribu rupiah yang tampak begitu lecak dan tak layak lagi. Tapi, Sang Supir Bajaj yang bernama Yono itu hanya tersenyum dan menolak uang itu. “Simpan saja untukmu, Min. Aku ikhlas membawa mu dan Istri mu yang sedang terkena penyakit itu. Jadi, lebih baik kau simpan saja. Siapa tahu, sewaktu – waktu, keluargamu membutuhkan uang itu.”
Ayah pun merasa terharu akan kebaikan sahabatnya itu. Ia merasa bergetar di dadanya ketika mendnegar kata – kata peduli dari Sang Sahabat barusan. Hingga bukan salahnya jika ia pun meneteskan air mata haru dan memeluk sahabatnya itu.
Dan, setelah Yono, Sang supir Bajaj mengendarai bajaj jingganya keluar wilayah kumuh itu, ayah segera menghapus air matanya dan berjalan masuk, menuju kedalam rumahnya yang sangat sederhana itu. Ayah segera menghampiri ibu yang sedang terbaring lemas di atas sebuah tembikar sederhana yang menjadi lantai di rumah mereka itu, dengan seorang bocah kecil berumur 9 tahun yang duduk di sisi lemah dan rapuh wanita itu seraya menggenggam tangan Sang Ibu yang tersenyum menatapnya dan beralih kepada sosok ayah yang kini duduk bersama di sebelah anak semata wayangnya, Kiki.
“Ayah, sudah membayar Yono?” kata Ibu dengan lemas. Sebuah selendang lama dan berwarna pudar melingkarkan diri di leher wanita itu, berusaha tuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Dan, sebuah baju tebal bekas yang ayah beli di pasar, dekat daerah perumahan kumuh mereka itu pun membantu Sang selendang untuk menghangatkan tubuh wanita itu.
“Sudah, bu.” Kata Ayah seraya mengelus lembut rambut setengah putih dari Sang pendamping hidupnya itu. Hati ayah begitu rapuh ketika melihat senyum manis Sang Pendamping hidupnya yang sudah menemaninya selama lebih dari 17 tahun berumah tangga. Dadanya terasa sesak, melihat kondisi Istrinya yang semakin hari semakin lemah saja. Padahal, sudah banyak obat alami yang di suapkan ke tubuh Sang Istri, untuk membantunya dalam sembuh melawan penyakitnya itu. Tapi, tak ada reaksi. Dan, kini, mereka baru saja pulang dari Jakarta, untuk mengobati Sang Istri.
Dan tak sengaja, air matanya yang begitu bening dan tulus pun menetes, mengenai pakaian tebal yang tampak bekas, yang dipakai sang Istri.
“kiki, kamu bisa bermain di luar dulu, nak?” kata Ayah, mengganti belaian lembutnya dari rambut Sang Istri ke anaknya, Kiki. “Mungkin, ada sesuatu yang ingin kamu mainkan?” ayah memberikan senyuman hangat yang terasa menerpa wajah Kiki dengan lembut.
Kiki hanya mengangguk. Dan untuk yang kesekian kalianya, ia mengecup pipi ibunya dengan penuh sayang dan cinta. Ya, walau pun ia tahu kalau hal itu tak membantu penyakit yang di derita ibunya mereda. Kiki pun berjalan keluar. Dan, ia pun berhenti di ambang pintu yang berupa kain, dan menoleh kepada ibunya yang memucat, seraya menyunggingkan senyum manisnya, dan berjalan keluar. Tapi, baru beberapa langkah dari pintu kain itu. Sebagian dari diri Kiki enggan untuk keluar, dan memilih untuk mendengar kan sesuatu yang kedua orang tuanya hendak bicarakan. Tapi, sebagian lagi ingin meneruskan langkah kaki kecilnya menuju rumah salah satu teman seperjuangannya.
Tapi, ia menetapkan untuk kembali ke dalam rumah untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Dan, ketika hendak menyibakkan kain yang menjadi pintu rumahnya itu, tiba – tiba saja Kiki berdiri bergeming ketika ia mendnegar ayahnya menyebut – nyebut namanya.
“Aku merasa prihatin kepada Kiki, bu. Aku tidak ingin anak semata wayang kita itu benar – benar terpukul bila ia tahu kalau umurmu sudah tak lama lagi!” kata – kata ayah membuat Kiki makin peansaran hingga ia pun mencoba untuk mendengarkan lebih seksama lagi.
“Jangan berbicara seperti itu, ayah. Ibu tahu kalau umur ibu sudah tak lama lagi. Tapi, jika kita mau dan terus berusaha, mungkin ibu akan dapat tertolongkan.” Kata ibu. Suaranya begitu lemah dan rapuh, hingga sesekali ia terbatuk – batuk kering.
“Ya, mungkin saja itu terjadi! Tapi, kita benar – benar membutuhkan keajaiban untuk kesembuhan mu itu.” Kata ayah. Berbicara agak keras.
“Hmm, keajaiban?” gumam Kiki. Ia menganggukkan kepalanya, entah apa yang ia pikirkan. Tapi, ia segera masuk kedalam rumah, membuat kedua orang tuanya terkejut. Tapi, Kiki tak menyadari itu karena ia berjalan lurus, melewati kain yang menutupi kamarnya. Ia mencari – cari sesuatu di dalam kamar super kecilnya itu. Hingga, beberapa saat kemudian, ia mendapati apa yang ia cari. Di sudut kamarnya, sebuah keramik berbentuk buah jeruk berdiri, tampak memperlihatkan dirinya. “Aah! Itu dia!” Kiki segera mengambilnya, dan berlari keluar rumah secepat kilat. Ia tak menggubris perkataan ayahnya yang bingung dengan tingkah laku anaknya itu.
Kiki terus berlari, melewati pintu gerbang yang terbuat dari seng – seng bekas, dan berbelok ke arah kiri dan menambah kecepatan larinya. Nafasnya terus menderu – deru, bersamaan dengan setiap langkah cepat yang ia ambil. Celengan yang ia bawa itu terpeluk erat di tangannya, sementara isinya bergemerincing ria, sesuai dengan langkah kaki Kiki.
Sinar mentari yang mencubit tak ia hiraukan demi mencari sebuah tempat yang menurutnya bisa menolong ibunya. Hiruk pikuk kendaraan yang bising, mencadi teman seperjalanannya. Dalam benaknya, ia tahu bahwa masih ada keajaiban yang barusan, kedua orang tuanga bicarakan.
Dan, ia pun sampai di sebuah apotik yang tampak sepi itu. Ia segera berlari masuk, dan berhenti di depan sebuah meja kayu yang melebihi tinggi badannya itu. Seorang perempuan cantik berkrudung merah muda memberi ucapan selamat datang kepada Kiki dengan senyumannya yang manis. “Halo, adek. Ada yang bisa kakak bantu?” kata perempuan itu. Suaranya seakan menutupi suara bising dari hiruk pikuk kendaraan yang ada di jalan raya di belakang tubuh Kiki.
“Sebentar, kak!” Kiki segera membanting celengannya itu dan merauk isinya dengan tak sabar. Sebagian isi dari celengan itu adalah uang – uang logam dan beberapa lembar uang seribu rupiah, dua ribu rupiah dan lima ribu rupiah. Ia kumpulkan uang – uang itu dalam dekapannya dan segera ia taruh di atas meja, membuat kakak cantik itu bingung. “Saya mau membeli keajaiban, kak. Ada? Berapa? Ini uangnya.”
Kakak itu tertawa lembut dan memasukkan uang uang itu kedalam kantong plastic dan menyodorkannya kembali kepada Kiki. “Adek, keajaiban nggak ada disini. Jadi, ambil saja uangnya.”
Kiki merasa bingung atas sikap kakak itu. Ia berfikir, mengapa kakak ini tertawa? Tapi, di balik rasa bingungnya itu, tersisip sebuah rasa kekecewaan yang mendalam. Ia sempat berfikir, apakah ia bisa menemukan keajaiban itu, dan membawanya pulang untuk menolong ibunya yang terkulai lemas di rumahnya.
Ah, mungkin di tempat lain, keajaiban itu ada!” ujar Kiki dengan antusias dan bersemangat hingga rasa kecewa yang semula menyelimutinya pun lenyap tertiup angin semangat dari diri Kiki.
Kiki kembali melangkahkan kaki – kakinya yang tak beralaskan itu di sepanjang trotoar yang sesekali mempertemukan dirinya dengan sebuah tiang rambu lalu lintas. Terik matahri di tengah hari itu sangat menyengat kulitnya itu. “Huft, panas! Kenapa cuacanya bisa sepanas ini? Dimana pepohonan yang hijau nan rindak menyejukkan? Aku butuh mereka!” Kiki menendang sebuah kaleng bekas minuman bersoda yang langsung terlempar ke dalam saluran air yang kering. Ia merasa kesal dengan tidak adanya satu pohon pun. Dan itu disebabkan oleh orang – orang egois, yang tak menggunakan otak mereka untuk berfikir! Berfikir untuk tidak merusak alam atau menghancurkannya demi kebutuhan sesaat yang mereka miliki itu!
Dan, langkahnya terhenti di depan sebuah apotik kedua yang ia incar. Dalam hati,ia berharap dapat menemukan keajaiban dan dapat membawanya pulang. Begitu semangatnya ia melagkah, hingga membuatnya jatuh terpleset di lantai yang baru di bersihkan.
“Astaga, adek tidak apa – apa?” kata seorang pria muda yang mengenakan jas putih bersih, dengan sebuah kaca mata yang ia selipkan di dalam kantong di dadanya. Tapi, Kiki hanya menggelengkan kepalanya dan kembali berdiri, seraya di bantu oleh pria muda itu. “Adek mau beli apa?” katanya dengan lembut, walau sedikit tegas.
“Saya mau membeli keajaiban, kak!” ujar Kiki seraya melemparkan senyum lugu-nya kepada pria itu. Dan, pria itu pun membalas senyumnya seraya mengelus – elus rambut Kiki, dan berkata, “Adek, keajaiban itu bukan untuk di beli. Keajaiban itu seharusnya di cari atau di ciptakan dengan suatu usaha yang sangat besar. Keajaiban itu hanya datang kepada orang – orang yang keras berusaha dan tekun dalam berdo’a.”
“Jadi begitu?” ujar Kiki seraya menunduk lemas. Perutnya terasa melilit nyeri. Jantungnya berpacu, seiring dengan rasa takut dan rasa kekhawatirannya terhadap ibunya tersayang. “Berarti, Kiki nggak bisa menolong ibu, dong?” matanya mulai berkaca – kaca, hingga setetes, dua tetes air mata jatuh di pipinya. Rasa gelisah, takut dan khawatir menyerang dirinya hingga membuat dadanya terasa sesak.
Tapi, semua perasaan itu agak berkurang ketika suara Pria itu terasa lembut membelai rambutnya. “Mungkin kakak dapat menolong ibu adek. Tapi, ibunya adek sakit apa?”
“Kiki juga tidak tahu, kak. Yang pasti, ayah dan ibu benar – benar membutuhkan keajaiban. Untuk itulah Kiki pergi membeli keajaiban yang susah di temukan di toko manapun.”
“Kalau begitu, kakak boleh datang kerumahnya Kiki, nggak?” kata Pria itu.
Kiki mendongak, menatap mata Pria itu dan tersenyum kecut. “Boleh, tapi, kakak mau ngapain?” kakak itu hanya tersenyum dan berjalan masuk kesebuah ruangan yang ada di apotik itu. Dan beberapa saat kemudian, ia keluar seraya membawa tasnya yang ia gandengkan pada salah satu tangannya.
“Kakak akan membantu untuk menemukan keajaiban itu. Untuk sesungguhnya, Kiki harus minta kepada Yang Maha Kuasa. Karena di tangan-Nya lah, keajaiban itu datang. Dan kakak hanya sebagai perantaranya saja. Kiki mengerti?” kata Pria itu, berjalan bersisian bersama dengan Kiki yang tampak lega. Mereka pun berjalan menuju sebuah mobil yang langsung membawa mereka menuju tempat Sang Ibu terkulai lemas, yang benar – benar membutuhkan keajaiban itu, sesegera mungkin.
Beberapa pasang mata tampak mengikuti arah yang di ambil mobil itu. Mereka juga tidak segan – segan mengikuti mobil yang berhenti tepat di rumah Kiki.
“Ayah, ibu! Kiki pulang! Lihatlah, siapa yang Kiki ajak!” Kiki berlari keluar dari mobil dan berteriak – teriak riang. Membuat ayahnya segera beranjak keluar dengan cepat dan terpukau melihat pria itu dan sebuah benda mewah yang memiliki roda empat sebagai alat penggeraknya itu.
“Waw! Itu mobil anda, Tuan?” kata ayah, tampak menunduk sopan ke arah Pria itu.
“Ah, pak, tolong jangan panggil saya Tuan. Saya Reza, saya dokter yang akan mencoba untuk menolong istri bapak.” Kata Dokter Reza seraya mengulurkan tangannya kepada ayah.
“Ah, syukurlah. Tapi, maaf, Dokter. Kami tidak punya cukup uang untuk membayar. . . .” kata – kata Ayah terputus oleh Dokter.
“Bapak, bapak tidak perlu membayar saya. Saya ikhlas menolong Istri bapak. Jadi, bagaimana keadaannya?” ujar Dokter Reza.
“Ah, ya, saya lupa! Ayo, silahkan masuk.” Ayah dan Dokter Reza meninggalkan kerumunan orang – orang setempat yang masih memerhatikan mobil mewah itu dengan mata membelalak, untuk segera memeriksa keadaan Ibu, dan mungkin masih bisa menolongnya
Beberapa menit berlalu, Dokter Reza dan ayah keluar bersama dan berjalan menuju mobil. “Bapak, Istri bapak terkena penyakit kanker otak setaium 1. Dan itu masih bisa diselamatkan dengan beberapa terapi yang sangat di butuhkan untuk menghilangkannya. Dan ini, kartu nama saya. Datang saja ke Rumah Sakit yang tertera di dalam sini, dan tunjukan kartu ini kepada petugasnya. Saya akan menunggu dan membantu menyembuhkan Istri bapak. Tapi, itu semua masih berada di tangan Yang Maha Kuasa. Jadi, jangan pernah berhenti untuk terus berdo’a akan kesembuhan Ibu, ya, Pak.” Ujar Dokter dengan ramah dan penuh sopan santun.
“Syukur Alhamdulillah! Terima kasih pak Dokter! Terima kasih!” ujar Ayah seraya memeluk Dokter Reza sesaat dan bersujud syukur akan karunia yang Tuhan berikan kepadanya.
Setelah berpamitan, Dokter Reza pun mengendarai kembali mobilnya dan berjalan pulang, meninggalkan rasa syukur dan kelegaan di hati ayah, Kiki dan ibu, serta seluruh tetangga mereka. Dan keesokannya, mereka pun datang dan menjalankan semua yang di beritahukan oleh Dokter Reza kemarin untuk menunjukkan kartu itu kepada petugas Rumah Sakit itu. Dan, ketika bertemu dengan Dokter Reza, ibu pun segera di tolong dengan beberapa terapi seperti kemoterapi dan lain sebagainya, yang hasilnya. . . . . . Alhamdulillah, sesuatu! Kanker itu lenyap dan tak mungkin kembali! Dokter Reza juga tetap memberikan obat – obatan kepada ibu agar mengkonsumsinya setiap saat, sesuai waktu yang telah tertulis di obatnya.
Dari sini, kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Teruslah berdo’a dan berusaha untuk menemukan keajaiban itu. Jangan pernah menyerah dalam mendapatkan sebuah keajaoban, karena sesungguhnya, keajaiban itu telah ada di depan mata bila kita terus bordo’a dan berusaha.
0 komentar:
Posting Komentar