Rabu, 11 April 2012

Akibat - Akibat Penyimpangan Dari Syari'at islam

Pada pembahasan kedua dari bab ini telah kami isyaratkan bahwa barangsiapa yang membuat undang-undang atau aturan-aturan yang tidak bersandar kepada prinsip hakimiyah itu milik Allah `Azza Wa Jalla, dia telah menjadikan dirinya sebagai rabb, wal ‘iyadzu billah. Hal ini mengandung suatu bentuk kemusyrikan terhadap Allah Tabaraka Wa Ta`ala. Kemusyrikan itu tidak menuntut seseorang untuk menyatakan kemusyrikannya terhadap Allah, tetapi sudah cukup dengan tindak tanduknya, baik dalam urusan ini, maupun dalam urusan-urusan lain yang mengandung hakimiyah Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berkata:

“Syirik itu, pada kalian, lebih halus daripada jalannya semut.” (Sayyid Quthb, 1406 H. / 1986 M., jilid IV, halaman 2032).

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dan Thabarani dengan lafazh:

“Wahai manusia, waspadalah terhadap syirik ini, karena sesungguhnya dia itu lebih halus daripada jalannya semut.” (Zakiyyuddin Abdul `Azhim bin Abdul Qowi Al Mundziri, 1406 H. /1986 M., jilid I, halaman 76)

Sesungguhnya aqidah Islam itu merupakan fondasi bagi setiap kegiatan manusia, dan juga bagi setiap hubungan-hubungan kemanusiaan. Aqidah Islam tidak saja terbatas untuk kalangan kaum muslimin, tetapi juga harus disampaikan kepada seluruh manusia, dan mereka harus tunduk kepadanya. Aqidah Islam juga merupakan satu-satunya faktor yang menentukan atau membatasi hubungan-hubungan dan ikatan-ikatan kemanusiaan. Sesungguhnya penolakan terhadap syari`at Islam dalam bentuk apa pun merupakan cerminan dari penolakan terhadap uluhiyah (ketuhanan) dan hakimiyah Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Tatkala uluhiyah dan hakimiyah Allah tersebut ditolak, itu merupakan awal dari jalan kemungkaran, yang darinya akan mengalirlah kemungkaran-kemunkaran yang lainnya. Pada hakikatnya, ada atau tidak adanya komitmen terhadap syari`at Allah Subhanahu Wa Ta`ala, dan penolakan terhadap uluhiyah-Nya, semuanya itu tidaklah menambah atau mengurangi uluhiyah, hakimiyah, dan kukuasaan Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Akan tetapi, komitmen terhadap syari`at Allah dan pengakuan akan uluhiyah-Nya serta penerapannya dalam kehidupan merupakan suatu kenikmatan yang Allah berikan kepada orang-orang yang komitmen terhadapnya. Hal itu sebagaimana firman-Nya di dalam Al Qur’an:

“Tidaklah patut bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (kepada-Nya).” (Yusuf:38)

Sesungguhnya akibat akhir penyimpangan dari syari’at Islam, melalui kemusyrikan manusia dengan Allah di dalam pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengatur kehidupan manusia, adalah kekufuran, wal ‘iyadzu billa. Manusia itu bisa keluar dari fitrahnya, apakah pada saat kelahirannya, ataukah pada masa yang berikutnya. Keluarnya manusia dari fitrah pada saat kelahirannya adalah dengan menganut agama selain Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam:

“Setiap (bayi) yang dilahirkan itu terlahir dalam keadaan suci. Kedua orang tuanya yang menjadikan apakah dia itu Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang ternak itu melahirkan anak binatang yang serupa, yang tidak ada perbedaaan sedikit pun dengan induknya.” Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim (Ahmad bin Taimiyyah, 1401H. / 1981 M., jilid XV, halaman 146)

Sedangkan keluarnya manusia dari fitrahnya pada masa yang akan datang adalah dengan tetapnya seseorang itu dalam keadaan Islam sejak masa kelahirannya, tetapi tindak tanduknya bertentangan dengan fitrahnya. Ini adalah suatu bentuk kekufuran yang sama dengan kekufuran sebelumnya. Walaupun belum dinyatakan dengan lidahnya, tindak tanduknya telah menunjukkan akan hal itu. Kekufuran ini berjenjang, sesuai dengan tahapan-tahapan yang disiapkan dan dirancang oleh musuh-musuh Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Biasanya,

kekufuran ini bermula dari pengeluaran manusia secara bertahap dari fitrahnya. Yakni, manusia itu secara fitrah diciptakan dalam keadaan muslim, jujur, ikhlas, mempunyai rasa kasih sayang, serta mencintai dirinya, keluarganya, masyarakatnya dan kemanusiaan secara keseluruhannya. Akan tetapi, gelombang badai kemanusiaan mulai mendorong manusia tersebut agar keluar dari fitrahnya. Yaitu, dengan mengambil jalan lain yang tidak diridlai oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala bagi manusia. Gelombang badai kemanusiaan tersebut, mulai mendorong manusia itu ke arah jalan yang menyimpang, melalui faktor-faktor yang telah dicanangkan secara akurat, untuk mewujudkan hasil-hasil yang berlawanan dengan apa yang diinginkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala bagi manusia.

Perjalanan yang berlawanan ini, memulai penyimpangannya pada persoalan-persoalan yang tampaknya ringan dan sederhana, tatkala dilihat secara individu dan terpisah dari seluruh penyebab dan pengaruhnya, sehingga memungkinkan untuk menutup mata darinya. Akan tetapi, penyelewengan ini kemudian mulai berkepanjangan dan meyesatkan, karena adanya dua faktor utama, yaitu: Pertama, berdiam diri dari penyimpangan tersebut, walaupun orang yang menyimpang tersebut tidak menyadari bahwa hal itu adalah suatu penyimpangan. Kedua, adanya perasaan sementara akan kemenangan atas fitrah, dengan cara melakukan penyimpangan darinya dan merealisasikan apa-apa yang tidak mungkin direalisasikan. Ungkapan yang lebih jelas adalah merealisasikan apa-apa yang tidak mungkin dijalani dan direalisasikan oleh fitrah yang lurus. Di sini, mulailah terjadi adaptasi penyimpangan pribadi dengan realita yang ada di masyarakat, melalui sejumlah kesamaan dalam penyimpangan, dan sesuai dengan apa yang telah digariskan untuknya. Sebagai contoh adalah seseorang mulai mempopulerkan paham kebangsaan (nasionalisme), melalui pembangkitan fanatisme golongan secara negatip, dengan menggunakan beberapa hal yang positif, misalnya dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam adalah orang Arab, atau bahasa Arab itu adalah bahasa Al Qur’an. Setelah penyimpangan asasi yang direncanakan, dan dibangun di atas dasar yang benar tetapi dipergunakan secara tidak benar itu berhasil, dimulailah kegiatan penyusunan hasil-hasil penyimpangan tersebut dalam bentuk lain yang telah dipersiapkan, selama hal itu tidak menjadi bahan pertanyaan, atau tidak dipandang aneh, atau tidak diingkari. Sebagai contoh adalah ucapan berikut: Kita adalah bangsa Arab; di antara kita ada yang muslim dan ada yang non muslim. Oleh karena itu, kita harus bersatu atas dasar (kebangsaan) tersebut.

Adaptasi terhadap penyimpangan yang asasi ini merupakan awal dari berakhirnya (fitrah), karena sudut-sudut penyimpangan semakin meluas, dan jurang pun semakin melebar dan dalam antara titik permulaan dan titik yang telah dicapai oleh sudut penyimpangan. Di sini tampaklah bahwa periode untuk sampai kepada titik akhir tersebut lebih dekat dan lebih mudah daripada kembali kepada titik awal. Bahkan, titik awal tersebut tidak lagi terlihat, karena telah tertutup; tidak saja tertutupi oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang tersebut, tetapi juga oleh adaptasi terhadap hasil-hasil penyimpangan. Maka pada saat itu, fitrah yang dikehendaki Allah Subhanahu Wa Ta`ala bagi manusia telah menjadi redup dari pemikiran orang-orang yang menyimpang itu, dan perilaku-perilaku pun berubah, sehingga neraka jahannam pun siap melahap. Pada saat itu, sungguh sulit --kalau tidak dikatakan mustahil-- akan adanya pahala, kecuali dengan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta`ala.

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta`ala telah memperingatkan kepada manusia secara keseluruhan, dan kepada kaum muslimin secara khusus, dari menyalahi manhaj-Nya, dengan melakukan penyimpangan secara bertahap menuju kepada kesyirikan terhadap-Nya, wal `iyadzu billah, yaitu dengan mengikuti orang-orang kafir yang selalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghilangkan manhaj Allah Subhanahu Wa Ta`ala dari muka bumi ini, padahal mereka tidak akan berhasil. Di antara bentuk-bentuk peringatan tersebut adalah seperti firman Allah `Azza Wa Jalla:

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).“ (Ali Imran:28)

Dari ayat yang mulia ini, kita bisa merasakan betapa jauhnya seorang muslim dari Allah Subhanahu Wa Ta`ala, tatkala dia menjadikan orang-orang kafir sebagai idola dan panutan bagi dirinya. Pada saat itu, terputuslah hubungan antara seorang manusia muslim dan Rabbnya, antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk-Nya, antara seorang hamba dan Dzat yang paling berhak untuk diibadahi. Di saat berakhirnya hubungan itu, berakhir pulalah dari sisi pribadi tersebut, ikatan hakimiyah dan ubudiyah kepada Allah, untuk memasuki ubudiyah kepada individu, dan di bawah kekuasaan serta pengaturannya. Di sini, berbolak-baliklah selera tuhan yang berbentuk manusia itu, yang selalu berusaha untuk melanggengkan rantai kekuasaan dan kepemimpinannya terhadap leher orang-orang yang digiring untuk menghambakan diri kepadanya, dan mengakui akan hakimiyahnya. Maka, orang-orang yang meninggalkan hakimiyah dan ubudiyah kepada Allah, menuju ubudiyah kepada makhluk-makhluk yang seperti mereka itu, tidak mampu memenuhi keinginan-keinginan pihak yang menjadikan mereka itu sebagai ilah-ilah selain Allah. Dengan keadaan ini, pribadi tersebut --dari sisi dirinya saja-- benar-benar telah terputus hubungannya dengan Khaliq (Pencipta)nya.

Sesungguhnya terputusnya hubungan tersebut antara seorang hamba dan Penciptanya, yang dilakukannya secara sadar, hanyalah merupakan suatu akibat dari kesyirikan seorang hamba tersebut terhadap Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Dalam kaitan ini, kita melihat akibat yang wajar itu, yang telah diketahui oleh hamba tersebut sebelum dia melakukan syirik terhadap-Nya, namun pura-pura tidak mengetahuinya, suatu akibat yang terambil dari firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah , maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’:116)

Syirik ini adalah akibat dari menjadikan manusia sebagai Ilah selain Allah, yang disembah melalui apa-apa yang disandarkan kepadanya berupa undang-undang dan ajaran-ajaran yang menyalahi syari’at Pencipta mereka, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Mereka yang menyandarkan diri kepada Islam namun mengikutsertakan manusia seperti mereka dalam syari`at Allah, terkena apa-apa yang telah Allah kenakan tehadap orang-orang sebelum mereka dari ummat Yahudi dan Nasrani, seperti yang difirmankan Allah:

“Mereka menjasikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah.” (A-Taubah:31)

Hal itu karena orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut menyembah pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka dengan cara meninggalkan Kitab-Kitab yang diturunkan oleh Allah kepada mereka, lalu menerima apa-apa yang dihalalkan dan diharamkan bagi mereka oleh pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Sesungguhnya penghalalan dan pengharaman itu merupakan hak prerogatif Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Oleh karena itu, di saat seorang manusia berfikir untuk melakukan perbuatan ini, apalagi sampai dia benar-benar melakukannya, maka dia telah menjadikan suatu sifat ketuhanan bagi dirinya dan orang-orang yang mengikutinya. Syirik ini tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala , walaupun Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.

Sesungguhnya kewajiban bagi yang menyatakan dirinyanya sebagai manusia muslim adalah merenungi dan mengamalkan firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah.’ Katakanlah, ‘ Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An`am: 56)

Sesungguhnya syirik terhadap Allah --walaupun telah memasukkan pelakunya ke dalam kekafiran yang tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala--tidak berhenti pada pribadi yang mengaku memiliki karakteristik ketuhanan yang paling nyata dan menjadikan dirinya sebagai Ilah selain Allah bagi manusia. Hal ini akan meluas, meliputi seluruh masyarakat yang menerima secara sadar undang-undang manusia dalam urusan kehidupan mereka, seraya mengenyampingkan undang-undang Allah Subhanahu Wa Ta`ala. Kerusakan yang terjadi, pada masa kita sekarang ini, merupakan cerminan dari keadaan yang kami sebutkan di atas. Itu semua tidak lain adalah akibat dari banyaknya orang yang menjadikan dirinya sebagai Ilah.

Apabila kekufuran dan kesyirikan tersebut, baik yang jelas dan terang maupun yang samar dan tersembunyi, telah menyelusup kedalam tubuh ummat Islam, kita semua wajib mempertanyakan, siapakah yang telah berperan dalam penanaman kesyirikan tersebut, dan yang telah menjauhkan ummat Islam ini dari jalan yang telah dipilihkan oleh Allah untuknya?. Sesungguhnya tanggung jawab dalam persoalan ini, pada hakikatnya dipikul oleh seluruh kaum muslimin yang telah membaca Kitabullah dan mengetahui akan isi kandungannya. Tanggung jawab tersebut dimulai dari kalangan ulama` dan guru-guru kita yang berdiam diri dari kemunkaran tersebut dan bahkan menyokongnya, sampai kepada setiap individu yang membela dan mempertahankan undang-undang buatan manusia, dan pemahaman-pemahaman impor yang bertentangan dengan syari`at Allah, kemudian menerapkannya dalam kehidupan mereka. Di antara mereka terdapat guru-guru di sekolah-sekolah dan dosen-dosen di universitas-universitas. Sebab, dengan perbuatannya tersebut, mereka telah ikut berperan dalam menghancurkan hukum Allah Subhanahu Wa Ta`ala, yang tercermin dalam syari`at Islam, dan juga mereka tidak berupaya untuk menjaganya, sebagaimana mereka menjaga hara-harta milik mereka sendiri, yang itu semua sebenarnya juga merupakan bagian dari karunia Allah Subhanahu Wa Ta`ala terhadap mereka.
Next Prev home

0 komentar:

Posting Komentar

tutorial blogpengobatan tradisional