Rabu, 09 November 2011

Aku dan Identitas Jilbabku



Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

Setiap pagi sebelum meninggalkan rumah untuk bekerja, aku mengikat rambut dan menutup seluruh bagian rambut hingga leher dengan sehelai kain. Selembar kain itu sudah menjadi bagian dari perlengkapan pakaianku. Shaista ‘Aziz, wartawati muslimah berkebangsaan Inggris, sejak beberapa tahun lalu memutuskan untuk mulai mengenakan hijab. Seperti beribu-ribu muslimah yang ada di seluruh dunia, hijab telah merupakan bagian dari dirinya, yang dipakainya dengan perasaan bangga dan percaya diri.
Dia memutuskan memakai jilbab setelah mengalami perjalanan batin yang panjang untuk mempelajari lebih dalam tentang Islam sebagai agamanya. Perjalanan batin ini dimulai setahun sebelum terjadi serangan terhadap gedung World Trade Center di New York. Keinginannya mempelajari Islam semakin kuat setelah kejadian 11 September di New York yang menggegerkan dunia itu.
Ketika itu penduduk muslim yang ada di seluruh dunia, termasuk Inggris berada di bawah ancaman dan tekanan para politisi dan media Barat di Inggris. Saat itulah muncul keinginannya untuk tampil sebagai seorang muslimah yang eksis.
Shaista ‘Aziz adalah muslimah terdidik dari dunia barat, walaupun tidak banyak tahu tentang bagaimana keadaan muslimah di negara lain seperti Irak, Bosnia, Somalia dan Palestina. Namun dia tetap yakin dan mantap menyatakan identitasnya melalui Islam dan jilbab.
Sejak kejadian 11 September di New York itu, telah terjadi lonjakan fantastis ‘jilbaber’ di kalangan Muslimah, khususnya wanita muda Inggris. Dari komentar mereka diketahui bahwa hampir semua melakukannya sebagai sebuah pilihan.
Sekarang ini, bila berjalan-jalan hampir semua jalan raya di Inggris, setiap Sabtu pagi, maka kita akan bertemu dengan para muslimah muda yang mengenakan jilbab. Umumnya dalam warna sangat serasi dengan pakaian mereka. Kemudian dalam perjalanan menuju tempat kerja setiap pagi, maka kita akan lebih sering bertemu saudara-saudara muslimah yang aktif, mengenakan jilbab dengan gaya yang berbeda-beda, dibandingkan para wanita lain yang mengenakan pakaian beraneka ragam.
“Dengan mengenakan hijab aku merasakan suatu kekuatan besar mengalir dalam diriku. Sekarang setiap hari adalah hari yang indah bagi rambutku, sepanjang yang aku ingat dan rasakan. Ketika aku berjumpa dengan muslimah lain di jalan, kami selalu tersenyum, kadang-kadang saling menganggukkan kepala dan saling menyapa, assalamulaiakum, wa ‘alaikum salam.” Ujar Shaista bangga.
“Ironisnya, aku menghadapi reaksi yang paling keras tentang hijabku ini, ketika berada di luar Inggris. Baru-baru ini saat pergi ke Kairo, Mesir, dan bertemu dengan teman yang bekerja di sebuah coffee shop. Aku menelponnya dari mobil dan kami berjanji untuk bertemu di lobi hotel, tempatku menginap. Ketika aku datang dan menyapanya, temanku itu ternganga heran. Mungkin saking kagetnya melihatku berjilbab.”
“Aku menyadari bahwa ada masalah yang sangat besar dalam Dunia Islam berkaitan dengan hijab. Kemudian ketika kami sudah nyaman di dalam kafe, dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya mengapa aku berhijab? Aku pikir itu pertanyaan yang sangat lucu.”
Seorang muslimah Mesir yang tinggal di dunia Arab malah bertanya kepada seorang wanita Muslimah kelahiran Barat yang tinggal di Inggris. Mengapa ia mengenakan jilbab. Sebuah ironi bukan? Namun saat dijelaskan alasannya, dia terlihat santai saja sambil mengeluarkan rokok dari dalam tasnya, kemudian mulai bercerita pada Shaista ‘Aziz tentang jilbab. Seolah dia yang paling tahu banyak hal tentang jilbab. Jilbab dianggap sebagai sesuatu yang tidak praktis, menyusahkan bahkan sesuatu yang mencekik bagi presenter di TV. Ia tidak ingin memakai hijab. Tidak mungkin. Mungkin itu yang ada dalam benak mereka.
“Aku malah berpikir bahwa di dunia barat ada keasyikan tersendiri memakai jilbab, cadar dan burqo. Aku menyadari dan tidak menyangkal bahwa ada masalah yang sangat besar dalam Dunia Islam terkait dengan kesejajaran hukum bagi para wanita. Tetapi memang para muslimah menghadapi masalah yang berkaitan dengan jender di seluruh dunia.” Shaizta ‘Aziz meyakinkan dirinya.
Perlu disadari bahwa para muslimah berhijab berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Gaya dan model mengenakan jilbab pun mungkin juga berbeda-beda. Ini menunjukkan Islam berada di atas segala kumpulan negara-negara, kebudayaan, bahasa dan kepercayaan.
Shaizta ‘Aziz patut bersyukur dapat mengekspresikan kesalihannya dalam berbusana muslimah, karena hal ini tidak dia temukan di tempat lain. Walau pada kebanyakan negara yang berpenduduk muslim sekalipun masih banyak ditemukan wanita tanpa busana muslimah.
Kondisi warga muslim di negara-negara Barat adalah sebuah fenomena yang menarik perhatian dunia Islam dan berbagai forum di Barat. Pasalnya, dalam beberapa dekade terakhir, umat Islam telah menjelma menjadi minoritas agama terbesar di Eropa dan Amerika. Hal inilah yang lantas mendorong mereka untuk menuntut hak-hak yang mestinya mereka peroleh sebagai bagian dari masyarakat di Barat. Akan tetapi, tuntutan itu bukan hanya tidak direspon oleh rezim-rezim di Barat, bahkan media massa di Eropa dan Amerika getol melontarkan tuduhan miring untuk merusak citra umat Islam di dunia.
Di Inggris, umat Islam adalah warga minoritas terbesar dengan jumlah sekitar dua juta jiwa atau tiga persen dari populasi Inggris. Warga muslim Inggris umumnya adalah imigran dari anak benua India, meski tak dipungkiri bahwa banyak pula warga asli Inggris yang memeluk agama Islam.
Di Inggris, warga muslim menghadapi perlakuan pemerintah Inggris yang relatif lunak terhadap warga muslim dibanding negara-negara lainnya di Eropa. Di negara ini terdapat sekitar 600 masjid di berbagai penjuru negeri ini yang merupakan pusat kegiatan warga muslim Inggris. Dari masjid inilah, muncul berbagai organisasi dan partai Islam yang melakukan aktivitas penyebaran agama Islam dan melakukan koordinasi terhadap warga muslim sebagai sebuah komunitas keagamaan.
Berdasarkan undang-undang Inggris, setiap warga bebas melaksanakan kewajiban agamanya. Undang-undang ini tentu saja sangat menguntungkan kelompok minoritas agama di Inggris tak terkecuali umat Islam. Tahun 1988, dengan disahkannya undang-undang persamaan hak belajar, warga muslim Inggris mendapatkan peluang yang lebih besar untuk belajar, termasuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman.
Saat ini, sekitar 110 sekolah agama Islam menjalankan aktivitasnya secara independen di Inggris, dan tentunya jumlah sekecil ini masih jauh dari cukup bagi komunitas muslim Inggris, apalagi jika kita membandingkannya dengan fasilitas yang didapatkan oleh kelompok minoritas lain. Meski demikian, para pelajar muslim di Inggris tetap terlibat aktifitas pendidikan dengan giat. Bahkan tahun lalu, salah sebuah sekolah menengah atas putri muslim ditetapkan sebagai sekolah menengah tingkat atas terbaik di Inggris.
Di tengah sinar dakwah yang begitu benderang di negeri Pangeran Charles ini, bukan berarti tidak ada tantangan. Namun dalam menghadapi tekanan dan propaganda buruk ini, Islam di Inggris telah memposisikan diri sebagai agama yang hidup dan menarik perhatian. Karenanya, sebagian warga Inggris memiliki pandangan yang baru terhadap ajaran agama ini. Kita berharap, masyarakat muslim Inggris sebagai kelompok minoritas terbesar di Inggris dapat memperoleh hak-hak mereka yang semestinya.
“Melalui Islam aku merasa memiliki kekuatan untuk tetap dapat bergerak dinamis karena keindahan dan kesederhanaan pamakaian jilbab dan petunjuk-Nya dalam kehidupanku.” Shaista ‘Aziz membenarkan.
Next Prev home

0 komentar:

Posting Komentar

tutorial blogpengobatan tradisional