Oleh: Asfuri Bahri, Lc
Wahai ayahanda, kalau bukan karena surga, tentu aku akan lebih mendahulukanmu (Sa’ad bin Khaitsumah)
Kata-kata itu terlontar dari seorang anak kepada ayahnya. Ungkapan itu bukanlah bentuk ketidaksopanan anak terhadap orang tuanya. Itulah ungkapan keimanan akan sebuah keyakinan terhadap sebuah pilihan yang besar di sisi Allah.
Kemenangan besar selalu didahului oleh kemenangan-kemenangan kecil. Dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di medan pertempuran, terdapat pernik-pernik kisah kemenangan yang dialami masing-masing individunya. Kemenangan mengatasi hawa nafsu, ketakutan, kegamangan, kemenangan menghadapi tekanan dan teror keluarga dan masyarakat, kemenangan dari sisi moral, dan kemenangan menata hati menjadikan niat perjuangannya hanya untuk mendapat karunia Allah. Bahkan kemenangan-kemenangan kecil itu menjadi prasyarat bagi turunnya kemenangan besar.
Kemenangan kaum Muslimin dalam perang Badar, misalnya. Didahului oleh kemenangan individunya dalam mengatasi diri dan hawa nafsunya sendiri. Adanya tanafus (kompetisi) dalam mengejar kemenangan akhirat. Hingga Allah, melalui para malaikat-Nya, terlibat langsung dalam pertempuran besar itu. Dan tentu malaikat tidak akan turun kalau mereka (para sahabat) tidak layak mendapatkan pertolongan itu. Sesungguhnya kemenangan kecil inilah inti kemenangan.
Ada yang tercecer dari kisah sukses perang Badar. Di sebuah rumah di Madinah terdapat dialog indah antara Khaitsumah bin Al-Harits dengan anaknya, Sa’ad. Bertemakan tentang tantangan yang dihadapi Islam yang berasal dari orang-orang jahiliyah dan Yahudi.
Tiba-tiba Khaitsumah menghentikan dialognya dan memasang kedua telinganya untuk memperhatikan sayup-sayup suara dari kejauhan. Sia-sia, kedua telinga rentanya tidak sanggup menangkap suara itu. Serta-merta ia pun meminta putranya untuk mengendus berita dari suara sayup itu. Untuk kemudian menyampaikannya kepada sang Bapak.
Sa’ad segera berhambur keluar merespon permintaan bapaknya. Dan tidak lama setelah itu ia kembali dengan wajah berseri-seri menuju tempat penyimpanan senjatanya. Pedangnya segera dikalungkan ke pundaknya dan bersiap-siap keluar. Khaitsumah terbengong-bengong menyaksikan ulah anaknya yang diperintahkan untuk mencari berita itu. Ternyata Sa’ad lupa menyampaikan berita kepada ayahnya.
Khaitsumah bangkit dari duduknya dan menghadang jalan anaknya.
“Anakku, aku yang memerintahkanmu untuk mencari berita. Eh, tiba-tiba kamu sekarang mengenakan senjata dan hendak pergi tanpa menyampaikan kepadaku tentang apa sesungguhnya yang terjadi.”
Dengan merasa bersalah terhadap sikapnya Sa’ad berkata, “Maaf ayah, seruan Rasulullah membuatku sibuk sendiri dan melupakanmu. Beliau menyerukan kepada kita untuk berangkat perang. Aku pun segera menyambut seruan beliau, ayahanda.”
Khaitsumah terdiam sejenak lalu berkata, “Sebentar, anakku. Apakah menurutmu, kamu lebih layak untuk berangkat bersama Rasulullah daripada diriku? Aku, demi Allah, sangat berhasrat untuk berangkat bersama beliau ke medan tempur. Di samping itu, di rumah ini harus ada orang laki-laki yang menjaga para wanita, ibu dan saudari-saudarimu. Kamulah yang menjaga mereka, Sa’ad. Dan biarlah aku yang berangkat bersama Rasulullah.”
“Tidak ayah. Tidak ada yang bisa membuatku duduk-duduk di sini tanpa terlibat dalam pertempuran bersama Rasulullah. Kalau ayah ingin keluar, berangkat saja. Ada Allah yang menjaga wanita-wanita di rumah ini.”
Sang Ayah yang tua renta itu pun terus meminta kepada anaknya, “Anakku, aku ini sudah tua. Sementara kamu masih banyak memiliki kesempatan untuk berangkat bersama Rasulullah. Perang kali ini kiranya bukan perang terakhir bersama Rasulullah. Utamakan aku dulu yang pergi, Sa’ad. Dan kamu yang menjaga para wanita kita.”
Sa’ad diam sejenak lalu ia berkata kepada ayahnya, “Ayahanda. Tidak ada keinginanku di dunia ini kecuali aku selalu mengutamakan engkau. Kali ini tidak, ayahanda. Ini masalah surga. Demi Allah, kalau bukan surga, tentu aku lebih mengutamakan engkau.”
Dialog pun berlangsung tanpa ada ujung pangkal. Panah-panah argumentasi saling dilepaskan untuk mengalahkan yang lain. Namun semuanya berseliweran tanpa menemui sasarannya. Lalu pada akhirnya anak panah Sa’ad yang berhasil mengenai sasarannya dan Khaitsumah yang mengalah. Sa’ad memeluk ayahnya dan mengucapkan selamat tinggal kepada keluarganya.
Setelah itu hari-hari berlalu hampa tanpa kehadiran Sa’ad di rumah Khaitsumah. Orang tua itu tak henti-hentinya berdoa untuk putranya agar dikaruniai syahadah atau kemenangan.
Beberapa hari kemudian berita tentang kecamuk perang Badar tersebar di mana-mana; kemenangan yang dicapai, harta rampasan perang, dan orang-orang yang gugur sebagai syuhada. Di antaranya berita tentang gugurnya Sa’ad putra Khaitsumah.
“Inna lillahi wa inna ilahai raji’un. Kamu membenarkan Allah, hai Sa’ad, maka Allah pun membenarkanmu. Aku berharap kiranya kamu mendapatkan surga.”
Kejujuran iman kepada Allah yang melahirkan pembenaran terhadap semua janji-Nya. Tidak ada keraguan. Tidak hendak menunda mendapatkan janji itu. Tidak boleh ada yang menghalangi mendapatkan janji itu. Meskipun ayah sendiri yang selama ini ia telah banyak mengalah dalam urusan dunia, sebagai bakti seorang anak kepada orang tuanya.
“Demi Allah, kalau bukan surga, tentu aku lebih mengutamakan engkau.”
Kejujuran iman melahirkan rasa rindu yang membuncah begitu kuat terhadap surga. Ia menjadi energi besar yang dengannya seseorang dapat mengatasi segala rintangan, sebesar apapun dan sedekat apapun.
Betapa perlunya kita menata hati dan menghadapkannya kepada Allah semata. Saat kita beramal, berkata, bahkan diam. Janji-janji Allah selalu terngiang di balik setiap amal hingga memacu laju dan menguatkan tekad. Karena seorang mukmin selalu menjadikan kalkulasi ukhrawi sebagai motivasi amalnya.
As-Shidqu ma’a Allah (jujur kepada Allah) senantiasa kita butuhkan dalam menghadapi berbagai kondisi. Sifat ini yang membuat seorang mukmin senantiasa komitmen terhadap janjinya kepada Allah. Di waktu mudah dan lapang ia tidak terlena dengan berbagai kemudahan itu dan meninggalkan jiddiyah dalam amal. Di waktu sempit dan susah, konflik dan fitnah, ia juga tetap tegar di jalan Allah setia dengan komitmennya untuk memberikan loyalitasnya kepada Allah, Rasul, dan orang-orang beriman. Wallahu A’lam
Mantap lanjutkan..!!
BalasHapusok... makasih gan...
BalasHapus