Oleh: DR. Attabiq Luthfi, MA
Sumpah Allah dengan jiwa (nafs) pada ayat ini merupakan kelanjutan dari sumpah Allah dengan makhluk-makhluk-Nya yang agung; matahari, bulan, waktu siang dan malam, serta langit dan bumi. Betapa tinggi dan besar nilai jiwa, karenanya Allah menutup sumpah-Nya dalam surah ini dengan jiwa dan mensejajarkannya dengan jajaran ciptaan-Nya yang agung. Sungguh, Allah hanya bersumpah dengan sesuatu yang harus diperhatikan oleh hamba-hamba-Nya, termasuklah tentang pensucian jiwa ini yang seringkali dilalaikan oleh manusia.
Dalam penciptaannya, jiwa juga berbeda dengan ciptaan Allah yang lain. Ketika Allah Taala menciptakan jiwa manusia, Dia menciptakan bersamanya potensi untuk melakukan kebaikan atau keburukan, dan menjadikan manusia mampu menggunakan anggota tubuhnya untuk memilih jalan yang dikehendaki. Kebebasan memilih ini memiliki konsekuensi, mendapatkan ganjaran dan hukuman di hari perhitungan (pertanggungjawaban) kelak di hari kiamat. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Asy-Syams: 9-10)
Khalid bin Ma’dan, seorang tabi’in terkemuka menyatakan tentang penyempurnaan jiwa manusia agar meraih keberuntungan, “Tidak ada seorang hamba kecuali ia mempunyai empat mata. Dua mata di wajahnya untuk melihat perkara dunia, dan dua mata di hatinya untuk melihat perkara akhirat. Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia akan membukakan kedua matanya di hatinya, sehingga pemiliknya mampu memandang perkara akhirat, dan jika Allah menghendaki terhada seorang hamba selain itu, ia meninggalkannya sebagaimana adanya. Kemudian Hamid bin Ma’dan membaca ayat, “Am ‘ala quluubih aqfaaluha”.
Syekh Amru Khalid, dalam bukunya Ar-Ruuh wa Al-Maadah, mnangkap sebuah pragmen yang sering terjadi di sekitar kita. Diceritakan dua orang pengusaha keluar dari sebuah swalayan besar. Di depan pintu keluar, seorang ibu tua papa meminta belas kasihan mereka. Seorang dari pengusaha memberikan beberapa lembar uang. Sedang seorang lagi berjalan terus, tidak peduli terhadap permitaan wanita papa itu.
Perbedaan sikap itu menurut Syekh Amru Khalid adalah disebabkan bedanya “makanan” yang dikonsumsi kedua pengusaha itu. Pengusaha pertama termasuk orang yang memperhatikan bukan saja makanan untuk jasadnya, tapi juga makanan untuk ruh dan jiwanya. Sedangkan yang kedua hanya mengkonsumsi makanan untuk jasadnya.
Hal ini karena manusia diciptakan dari dua komponen, yakni dari jasad dan ruh. Jasad tampak jelas di luar manusia. Sedangkan ruh mengisi di dalam jasad. Keduanya saling terkait. Dan keduanya mempunyai asal-mula dan jenis kebutuhan masing-masing.
Jasad berasal dari tanah dan kebutuhannya adalah makan, minum, pakaian, dan hubungan lain jenis. Sedangkan ruh bersumber Allah yang ditiupkan kepada Adam as. Seperti disebutkan dalam firman-Nya, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaaan)-Ku, maka tunduklah kamu (para malaikat) kepadanya dengan bersujud (kepada Adam as.).” (Al-Hijr: 29) Dan kebutuhan jiwa adalah setiap yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Taala, tilawah Al-Qur’an, shalat dengan khusyu’, banyak berpuas, membantu sesama dan lain sebaganya. Sayangnya banyak orang yang memahami diri mereka berkomponen jasad saja. Sehingga yang mereka perhatikan hanya untuk kebutuhannya, dari makanan, pakaian, atau kecantikan. Setiap saat mereka memikirkan bagaimana keperluan untuk jasad mereka. Mereka bisa sedih, menderita dan takut jika jasadnya sakit atau rusak.
Namun mereka tidak memperhatikan kebutuhan komponen lain dari penopang jasadnya, bagi ruhnya. Padahal antara keduanya saling terkait. Juga ruh berinteraksi dan ‘tumbuh’ layaknya jasad bagi manusia. Ia membutuhkan makanan dan perhatian. Jika ruh selalu menkonsumsi kebutuhan, makanannya, dari amalan yang baik, maka ruh menjadi sehat dan pemiliknya dapat memberikan nilai-nilai luhur bagi jasad. Tapi jika ia tidak mengkonsumsi makanannya, tidak diperhatikan lambat-laun hampa, sakit dan mati.
Dan ini akan mengakibatkan pemiliknya bukan saja tidak peduli terhadap ajaran-ajaran-Nya, tapi juga terhadap sesama, seperti bersedekah, membantu, seperti pengusaha di atas. Inilah yang kebanyakan dikonsumsi Barat dengan paham hedonis, bermegah-megahan untuk kepentingan jasad tanpa ruh. Sehingga membuat kelalaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, menghalalkan segala cara demi jasad mereka. Benarlah kata Al-Qur’an, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (At-Takatsur: 1). Karenanya, yang tepat adalah memberikan keseimbangan pada kebutuhan jasad dan ruh kita.
“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya.” (Al-Ankabut: 6)
“Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku aha Kaya lagi Maha mulia.” (An-Naml: 40)
“Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya.” (An-Naml: 92)
“Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri.” (Fathir: 18)
Seluruh ayat-ayat senada adalah bermakna Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan hamba-Nya dan ibadah mereka. Mereka melakukan dengan apa yang mereka lakukan adalah untuk menolong jiwa mereka dari neraka, agar jiwa mereka lurus, dan memungkinkan hidup dengan tenang di dunia, serta untuk mengaplikasikan unsur kemanusiaannya di dunia.
Betapa sering dalam keseharian kita, disadari atau tidak, jiwa kita terkotori oleh ucapan kita, sikap dan perilaku serta tindakan kita. Semuanya memberi pengaruh terhadap kesucian jiwa yang Allah ciptakan hanya untuk manusia. Maka untuk mengobati jiwa yang sakit, dan untuk meraih kemenangan dan menghindar dari kegagalan, Allah telah menawarkan petunjuk-Nya dalam surah Al-Mu’minun 1-10. Rasulullah saw bersabda seperti dalam riwayat Umar bin Khathab r.a. bahwa baginda bersabda, “Telah diturunkan kepadaku 10 ayat. Barangsiapa menegakkannya, niscaya ia akan masuk surga. Kemudian Rasulullah saw membaca ayat 1 hingga ayat 10 dari surah Al-Mu’minun”. (H.R. Imam At-Tirmidzi).
0 komentar:
Posting Komentar