Tulus Tahi Hamonangan Tambunan
FORUM EKONOMI INDONESIACenter for Industry, SME & Business Competition StudiesUniversity of Trisakti
1. Latar Belakang Permasalahan
Ropke (1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi (2005), kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya. Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan sosial ekonomi, yang menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap anggota, pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama-sama (Hanel, 1989).
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan (atau ada yang bilang dimasa revolusi industri di-Inggris) yang diprakarsai oleh seorang industrialis yang sosialis yang bernama Robert Own. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Berdirinya koperasi buruh tersebut berfungsi membeli barang kebutuhan pokok secara bersama-sama dan memang ternyata bahwa harga di toko koperasi lebih murah jika dibandingkan dengan toko-toko yang bukan koperasi. Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (NM) dan negara sedang berkembang (NSB) memang sangat diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Di Indonesia pengenalan koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi (Soetrisno, 2003).
Lembaga koperasi sejak awal diperkenalkan di Indonesia memang sudah diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan ekonomi rakyat yang dikenal sebagai golongan ekonomi lemah. Strata ini biasanya berasal dari kelompok masyarakat kelas menengah kebawah. Eksistensi koperasi memang merupakan suatu fenomena tersendiri, sebab tidak satu lembaga sejenis lainnya yang mampu menyamainya, tetapi sekaligus diharapkan menjadi penyeimbang terhadap pilar ekonomi lainnya. Lembaga koperasi oleh banyak kalangan, diyakini sangat sesuai dengan budaya dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Di dalamnya terkandung muatan menolong diri sendiri, kerjasama untuk kepentingan bersama (gotong royong), dan beberapa esensi moral lainnya. Sangat banyak orang mengetahui tentang koperasi meski belum tentu sama pemahamannya, apalagi juga hanya sebagian kecil dari populasi bangsa ini yang mampu berkoperasi secara benar dan konsisten. Sejak kemerdekaan diraih, organisasi koperasi selalu memperoleh tempat sendiri dalam struktur perekonomian dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Keberadaan koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat ditilik dari sisi usianyapun yang sudah lebih dari 50 tahun berarti sudah relatif matang. Sampai dengan bulan November 2001, misalnya, berdasarkan data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Data terakhir tahun 2006 ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit.
Namun uniknya, kualitas perkembangannya selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya. Juga, secara makro pertanyaan yang paling mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Sedangkan secara mikro pertanyaan yang mendasar berkaitan dengan kontribusi koperasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan anggotanya. Menurut Merza (2006), dari segi kualitas, keberadaan koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.
Jadi, dalam kata lain, di Indonesia, setelah lebih dari 50 tahun keberadaannya, lembaga yang namanya koperasi yang diharapkan menjadi pilar atau soko guru perekonomian nasional dan juga lembaga gerakan ekonomi rakyat ternyata tidak berkembang baik seperti di negara-negara maju (NM). Oleh karena itu tidak heran kenapa peran koperasi di dalam perekonomian Indonesia masih sering dipertanyakan dan selalu menjadi bahan perdebatan karena tidak jarang koperasi dimanfaatkan di luar kepentingan generiknya.
Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka pertanyaan utama dari makalah ini adalah kenapa koperasi-koperasi di NM, yang sering dikatakan sebagai ekonomi-ekonomi yang kapitalis yang tidak cocok bagi pengembangan koperasi, bisa maju, sedangkan di Indonesia dimana keberadaan koperasi dikaitkan dengan idologi Pancasila malahan tidak berkembang baik? Jadi, yang dibahas di makalah ini adalah factor-faktor yang membuat koperasi di NM bisa berkembang dengan baik.
2. Perkembangan Koperasi di dalam Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis
2.1 Fakta
Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20. Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di NM dan NSB memang sangat diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan (Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam Undang-undang (UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam negeri.
2.1.1 Di Tingkat Dunia
Menurut data dari laporan tahunan 2006 dari International Co-operative Alliance (ICA, 2006), di dunia ada sekitar 800 juta orang yang menjadi anggota koperasi. Diperkirakan koperasi-koperasi di dunia secara total mengerjakan lebih dari 100 juta orang, dan memberi jaminan kehidupan bagi sekitar 3 miliar orang. Sekitar 20% lebih dari jumlah koperasi yang ada diciptakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Sebanyak 300 koperasi terbesar di dunia (Global 300) berdasarkan nilai omset memiliki nilai aset sekitar 30-40 triliun dollar AS dan omset tahunan 963 miliar dollar AS. Dengan nilai ini, 300 koperasi tersebut sebagai satu kelompok menjadi ekonomi terkuat no 10 di dunia untuk periode 2004, setelah Kanada, Spanyol, Italia, dan China, masing-masing pada posisi ke 9, 8,7,dan 6. Pada posisi teratas adalah AS, disusul oleh Jepang, Jerman, Perancis dan Inggris. Menurut sektor, sebagian besar dari 300 koperasi terbesar itu adalah koperasi-koperasi industri makanan dan pertanian, yakni sekitar 32,6%, disusul oleh ritel (24,7%), dan keuangan/asuransi (21.8%).
Yang sangat menarik dari laporan ini adalah bahwa sebagian besar dari 300 koperasi terbesar itu berasal dari NM, terutama Amerika Utara, UE dan Jepang. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 1, dari NSB, hanya Korea yang masuk di dalam daftar 10 besar. Masih menurut laporan ICA (2006) tersebut, lima (5) besar negara di mana sumbangan dari koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) terbesar adalah dari NM (Tabel 2).
Tabel 1: Sepuluh Besar Koperasi di Dunia
No | Nama | Negara | Tahun didirikan | Omset (dollar AS) | Total aset (dollar AS) |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 | Zen-Noh (National Federation of Agricultural Co-operatives) Zenkyoren Crédit Agricole Group Nationwide Mutual Insurance Company National Agricultural Cooperative Federation (NACF) Groupama Migros The Co-operative Group Edeka Zentrale AG Mondragon Corporation | Jepang Jepang Perancis AS Korea Perancis Swis Inggris Jerman Spanyol | 1948 1951 1897 1925 1961 1899 1925 1863 1898 1956 | 53.898 46.680 32.914 23.711 22.669 21.651 17.779 16.556 15.986 14.155 | 14.951 398.218 1.235.161 157.314 177.102 86.657 14.746 31.215 4.656 25.164 |
Sumber: ICA (2006)
Tabel 2: Lima Besar Negara dengan Pangsa PDB terbesar dari Koperasi
Negara | Pangsa PDB (%) |
Finlandia Selandia Baru Swis Belanda Norwegia | 16,1 13,9 11,0 10,2 9,0 |
Sumber: ICA (2006).
2.1.2 Eropa
Di Eropa koperasi tumbuh terutama melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Di perdagangan ritel, koperasi-koperasi konsumsi merupakan pionir dari penciptaan rantai perdagangan ritel modern (Furlough dan Strikwerda, 1999). Di sektor perbankan di negara-negara seperti Perancis, Austria, Finlandia dan Siprus, menurut data ICA (1998a), pangsa pasar dari bank-bank koperasi mencapai sekitar 1/3 dari total bank yang ada. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis dan RABO-Bank di Netherlands. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah anggota potensial dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001). Suatu studi dari Eurostat (2001) di tujuh negara Eropa menunjukkan bahwa pangsa dari koperasi-koperasi dalam menciptaan kesempatan kerja mencapai sekitar 1 persen di Perancis dan Portugal hingga 3,5 persen di Swiss.
Di negara-negara Skandinavia, koperasi menjadi soko guru perekonomian dan mempunyai suatu sejarah yang sangat panjang. Di Norwegia, 1 dari 3 orang (atau 1,5 juta dari jumlah populasi 4,5 juta orang) adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 99% dari produksi susu; koperasi-koperasi konsumen memegang 25% dari pasar; koperasi-koperasi perikanan bertanggung jawab untuk 8,7% dari jumlah ekspor ikan; dan koperasi-koperasi kehutanan bertanggung jawab untuk 76% dari produksi kayu. Di Finlandia, koperasi S-Group punya 1.468.572 anggota yang mewakili 62% dari jumlah rumah tangga di negara tersebut. Grup-grup koperasi dari Pellervo bertanggung jawab untuk 74% dari produk-produk daging, 96% dari produk-produk susu, 50% dari produksi telor, 34% dari produk-produk kehutanan, dan menangani sekitar 34,2% dari jumlah deposito di bank-bank di negara tersebut. Pada tahun 1995, dua koperasinya yang masuk di dalam 20 koperasi pertanian terbesar di Uni Eropa (UE) adalah Metsaliitto (kayu) dengan penghasilan 3.133 juta ecu dengan 117.783 anggota, dan Valio (produk-produk susu) dengan penghasilan 1.397 juta ecu, 47 anggota dan 5.101 pekerja. Di Denmark, pada tahun 2004 koperasi-koperasi konsumen meguasai pasar 37% dan dua koperasi pertaniannya, yakni MD Foods (produk-produk susu) dan Danish Crown (daging) masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE berdasarkan nilai omset pada tahun 1995. Pada tahun itu, penghasilan MD Foods mencapai 1,681 miliar ecu dengan 8919 petani sebagai anggota dan mengerjakan 3678 orang, sedangkan Danish Crown hampir mencapai 1,577 miliar ecu dengan 12560 orang anggota dan 6965 pekerja. Di Sweden, koperasi-koperasi konsumen memegang 17,5% dari pasar pada tahun 2004, dan pada tahun 1995 satu koperasi pertaniannya dari subsektor susu masuk 20 besar di EU, yakni Arla dengan omset 1,369 miliar ecu, anggota 10365 orang, dan mengerjakan 6020 orang.
Di Jerman, sekitar 20 juta orang (atau 1 dari 4 orang) adalah anggota koperasi, dan koperasi yang jumlahnya mencapai 8106 unit telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian negara tersebut, diantaranya menciptakan kesempatan kerja untuk 440 ribu orang. Salah satu sektor dimana koperasi sangat besar perannya adalah perbankan. Misalnya, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting peranannya, dengan kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa. Pada tahun 1995, ada dua koperasi dari Jerman yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, yakni Baywa (fungsi multi) dengan penghasilan 3.542 juta ecu dan mengerjakan 10794 orang, dan RHG (fungsi multi) dengan penghasilan 1.790 juta ecu, 260 anggota, dan 2.946 pekerja.
Di Inggris, diperkirakan sekitar 9,8 juta orang adalah anggota koperasi, dan pertanian merupakan sektor di mana peran koperasi sangat besar. Sektor lainnya adalah pariwisata. Biro perjalanan swasta terbesar di negara itu adalah sebuah koperasi. Pada tahun 1995, Milk Marque, koperasi produk-produk susu, masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, dengan omset mencapai 2.393.000.000 ecu, dengan jumlah anggota tercatat sebanyak 18 ribu orang dan memberi kesempatan kerja ke 300 orang. Sedangkan di Irlandia, koperasi-koperasi pertaniannya yang juga masuk di dalam kelompok besar tersebut adalah The Irish Dairy Board (jumlah anggota: 71), Avonmore (13245), dan Kerry Group (6000) yang semuanya di bidang produksi susu dengan omset antara 1.463,3 juta ecu hingga 1.523,3 juta ecu. Jumlah kesempatan kerja yang diciptakan oleh ketiga koperasi susu tersebut mencapai antara 2010 hingga 6426 orang.[2]
Di Perancis jumlah koperasi tercatat sebanyak 21 ribu unit yang memberi pekerjaan kepada 700 ribu orang, sedangkan di Italia terdapat 70400 koperasi yang mengerjakan hampir 1 juta orang pada tahun 2005. Pada tahun 1995 berdasarkan omset tahunannya, tiga koperasi di Perancis masuk 20 koperasi pertanian terbesar di EU, yakni Sodiaal untuk produk-produk susu dengan omset hampir mencapai 2,6 miliar ecu, Socopa untuk daging dengan 1,99 miliar ecu, dan UNCAA untuk input-input dan produk-produk daging dengan omset 1.527.900 ribu ecu.
Belanda, walaupun negaranya sangat kecil, tetapi koperasinya sangat maju. Salah satu adalah Rabo Bank milik koperasi yang adalah bank ketiga terbesar dan konon bank ke 13 terbesar di dunia. Contoh lain adalah perdagangan bunga. Mayoritas perdagangan bunga di negara ini digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Belanda juga punya banyak koperasi yang berkecimpung di sektor pertanian yang masuk 20 koperasi pertanian terbesar di UE, yakni Campina Melkunie (produk-produk susu), Cebeco Handelsrand (input dan produksi pertanian), Friesland Dairy Foods (produk-produk susu), Coberco (produk-produk susu), Demeco (daging), dan Greenery/VTN (buah-buahan dan sayur-sayuran), dengan penghasilan paling kecil 1,346 miliar ecu (VTN) hingga terbesar 3.1 miliar ecu (Campina), jumlah anggota paling sedikit 50 orang (Cebeco) dan terbanyak 17850 orang (VTN) dan jumlah pekerja paling sedikit 3000 orang (Dumeco) dan terbanyak 7490 orang (Friesland). Di negara tetangganya Belgia, pada tahun 2001 tercatat jumlah koperasi mencapai 29.933 unit, dan koperasi farmasinya memiliki pangsa pasar sekitar 19,5%.
Di negara-negara Eropa Timur, koperasi juga sangat maju. Misalnya, di Hongaria, koperasi-koperasi konsumen bertanggung jawab terhadap 14,4% dari makanan nasional dan penjualan-penjualan eceran umum pada tahun 2004. Di Polandia, koperasi-koperasi susu bertanggung jawab untuk 75% dari produksi susu di dalam negeri. Di Slovenia, koperasi-koperasi pertanian bertanggung jawab untuk 72% dari produksi susu, 79% dari sapi, 45% dari gandum, dan 77% dari produksi kentang. Di Slovakia, terdapat lebih dari 700 koperasi yang mengerjakan hampir 75 ribu orang.
2.1.3 Amerika Utara
Sementara itu, di AS 1 dari 4 orang (atau sekitar 25% dari jumlah pendudu) adalah anggota koperasi. Lebih dari 30 koperasi punya penghasilan tahunan lebih dari 1 miliar dollar AS. Salah satu koperasi yang sangat besar adalah koperasi kredit (credit union) yang jumlah anggotanya mencapai sekitar 80 juta orang dengan rata-rata jumlah simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat (seperti juga di Kanada) sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai “bank rakyat”, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula (Mulyo, 2004). Selain di sektor kredit, koperasi di AS juga kuat di sektor-sektor lainnya termasuk, industri, pertanian dan enerji. Sekitar 90% lebih distribusi listrik desa di AS dikuasai oleh koperasi. Koperasi Sunkis di California mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001).
Koperasi di AS terutama sangat penting di pertanian. Data 2002 menunjukkan bahwa pada tahun itu, ada sekitar 27 ribu lebih koperasi pertanian dengan sekitar 156,19 juta petani sebagai anggotanya (banyak dari mereka menjadi anggota dari lebih dari 1 koperasi. Jumlah ini paling besar di antara kelompok NM. Koperasi di pertanian terfokus pada kegiatan-kegiatan berikut ini: pemasaran produk-produk pertanian, pemasokan bahan baku/input, dan yang terkait dengan pelayanan-pelayanan petani lainnya. Mereka menguasai kurang lebih 28% hingga 30% pangsa pasar (Zeuli dan Cropp, 2005).[3]Beberapa koperasi pertanian yang sangat maju di AS adalah Agrilink, Cenex Harvest States, Dairy Farmers of America, Farmland, dan Land O’ Lakes.
Pada tahun 2002 jumlah koperasi di negara adi daya ini tercatat mencapai 48 ribu unit di hampir semua jalur bisnis, memberikan pelayanan kepada 120 juta anggota, atau sekitar 4 dari setiap 10 penduduk di negara tersebut. 100 koperasi terbesar di AS, diperingkat menurut omset, secara individu menciptakan paling sedikit 346 juta dollar AS dan dalam total mencapai 119 miliar dollar AS pada tahun tersebut (Zeuli dan Cropp, 2002) (Tabel 3).
Tabel 3: 100 Koperasi terbesar menurut Omset dan Sektor Bisnis di AS, 2002
Sektor | Jumlah koperasi | Omset (juta dollar AS) |
Pertanian Perdagangan besar/Groseri Keuangan Komunikasi enerji Peringkat keras dan lumber Lainnya | 41 18 12 16 6 7 | 58 26,1 10,2 9,7 8,8 6,5 |
Sumber: Zeuli dan Cropp (2002).
Menurut ICA, di Kanada 4 dari setiap 10 orang (atau sekitar 33% dari jumlah populasinya) adalah anggota paling sedikit satu koperasi. Koperasi (termasuk koperasi kredit atau credit union) mengerjakan lebih dari 160 ribu orang. Gerakan koperasi the Desjardins (koperasi tabungan dan kredit) dengan lebih dari 5 juta anggota adalah pencipta kesempatan kerja terbesar di Propinsi Québec. Di propinsi ini sendiri, sekitar 70% dari jumlah penduduk adalah anggota koperasi, dan di Saskatchewan sekitar 55% dari jumlah populasinya.
Jumlah koperasi di negara tersebut mencapai 8800 unit yang mempekerjakan secara langsung 150 ribu orang. Di seluruh negara itu, sebanyak 250 ribu produsen mandiri tergantung pada pemasaran dan produksi koperasi untuk kehidupan mereka. Koperasi-koperasi di Kanada terutama sangat penting di perdesaan dan wilayah-wilayah terpencil, dimana mereka memenuhi kebutuhan produsen-produsen di pertanian, perikanan, kerajinan, dan manufaktur lainnya. Di sektor pertanian, banyak koperasi mendirikan industri pupuk dan di sektor pertambangan, banyak koperasi yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengeboran minyak bumi. Banyak koperasinya yang memiliki pangsa yang cukup besar di pasar global. Misalnya koperasi-koperasi gula menguasai sekitar 35% dari produksi gula dunia.
Koperasi-koperasi di Kanada memiliki aset dengan nilai lebih dari 20 miliar dollar Kanada, yang dimiliki oleh anggota dan masyarakat yang dilayaninya. Koperasi-koperasi non-keuangan menghasilkan omset mendekati 30 miliar dollar Kanada rata-rata/tahun. Lima besar koperasi non-keuangan di Kanada berdasarkan omset diperlihatkan di Tabel 4. Paling tidak, 7 koperasi masuk di dalam 500 besar perusahaan-perusahaan Kanada, dan sejumlah koperasi keuangan dinilai sebagai tempat terbaik untuk bekerja di negara itu.
Hal yang sangat menarik adalah bahwa, menurut suatu penelitian tahun 2001 yang dilakukan oleh Menteri Industri dan Perdagangan Québec (dikutip dari ICA), tingkat survival jangka panjang dari perusahaan-perusahaan koperasi hampir dua kali lipat dari perusahaan-perusahaan non-koperasi.
Tabel 4: Lima Besar Koperasi Non-Keuangan di Kanada berdasarkan Omset
Nama | Total Omset | Aset | Kegiatan Utama | ||
2006 | 2005 | ($) | ($) | ||
1 | 1 | Federated Co-operatives Limited. | 5.413.759.000 | 2.682.699.000 | Grosir, barang-barang konsumen, penyulingan minyak, bahan-bahan bangunan |
2 | 2 | La Coop fédérée | 3.175.543.749 | 1.004.006.000 | Makanan, minyak, bahan-bahan baku keperluan petani |
3 | 3 | Agropur Coopérative | 2.284.117.000 | 845.342.000 | Produk-produk makanan seperti susu dll. |
4 | 4 | United Farmers of Alberta Co-operative Limited | 1.624.058.000 | 549.361.000 | Minyak, bahan-bahan kebutuhan produksi pertanian/petani, bahan-bahan bangunan |
5 | 5 | Calgary Co-op Assn Ltd. (Alta.) | 925.959.000 | 313.785.000 | Supermarket, minyak, farmasi, biro perjalanan |
Sumber: Pemerintah Kanada (http://www.agr.gc.ca/rcs-src/coop/index_e.php?s1=info_coop&page=intro).
2.1.4 Asia
Di Jepang, 1 dari setiap 3 keluarga adalah anggota koperasi. Koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Koperasi-koperasi pertanian menghasilkan output sekitar 90 miliar dollar AS dengan 91% dari jumlah petani di negara tersebut sebagai anggota. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai “bank rakyat” karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan. Bahkan salah satu bank besar di Jepang adalah koperasi, yakni bank Nurinchukin bank (Rahardjo, 2002).
Di negara-negara Asia lainnya dengan tingkat pembangunan ekonominya yang sudah relatif tinggi seperti Singapura dan Korea Selatan, peran koperasi juga sangat besar. Di Singapura 50% dari jumlah populasinya adalah anggota koperasi. Koperasi-koperasi konsumennya memegang 55% dari pasar dalam pembelian-pembelian supermarket dan mempunyai suatu penghasilan sebesar 700 juta dollar AS. Di Korea Selatan, koperasi-koperasi pertanian punya anggota lebih dari 2 juta petani (90% dari jumlah petani), dan menghasilkan output sebanyak 11 miliar dollar AS. Koperasi-koperasi di subsektor perikanan memiliki pangsa 71%.
Koperasi konsumen di Singapura, seperti juga di misalnya Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya (Mulyo, 2004).
2.2 Faktor-faktor Keberhasilan: Pembelajaran Bagi Koperasi Indonesia
Hebatnya perkembangan dari koperasi-koperasi di negara-negara maju tersebut memberi kesan bahwa koperasi tidak bertentangan dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koperasi-koperasi tersebut tidak hanya mampu selama ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi, tetapi mereka juga menyumbang terhadap kemajuan ekonomi dari negara-negara kapitalis tersebut. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa koperasi lahir pertama kali di Eropa yang juga merupakan tempat lahirnya sistem ekonomi kapitalis.
Banyak studi-studi kasus atau laporan-laporan mengenai keberhasilan dari koperasi-koperasi di NM. Misalnya dari Trechter (2005) mengenai the Fonterra Cooperative Group (FCG) di Selandia Baru (SB) dan the Australian Wheat Board (AWB). Dalam suatu jangka waktu yang relatif pendek, pemasaran susu di SB telah berubah dari suatu sektor yang terfrakmentasi ke dalam sejumlah koperasi yang saling bersaing ke satu sektor yang didominasi oleh satu koperasi. Tahun 1996 ada 14 koperasi susu di SB. Sekarang hanya ada satu koperasi susu yang besar, yakni FCG, dan dua yang kecil berbasis regional yang beroperasi di SB. Tahun 2000, Kiwi Cooperative Dairies (Kiwi) dan New Zealand Dairy Group (NZDG) mendominasi industri susu di SB dan mereka adalah pesaing-pesaing berat. Negosiasi-negosiasi antara Kiwi dan NZDG yang akhirnya membuat terbentuknya FCG sangat lama dan alot. Menurut website-nya, FCG adalah korporasi terbesar di SB, dengan 7% dari PDB negara itu, menyumbang sekitar 20% dari cadangan devisa SB, dan perusahaan susu terbesar ke empat di dunia (http://fonterra.com). FCG melalui Kiwi Dairies dan NZDG memiliki sejumlah merek konsumen yang sangat kuat, diantaranya Anchor, Peters and Brownes, dan Tip Top. FCG punya sekitar 12.300 anggota dan fasilitas-fasilitas produksi di Brazil dan Australia, selain di SB. FCG secara cepat memperluas pengaruhnya di pasar susu di Australia dengan membeli Australian Food Holdings, bagian dari National Food dan upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk memperluas kepemilikannya dari Koperasi Bonlac dari 25% ke 50%. Tujuan utama dari didirikannya FCG adalah untuk mencapai penghematan biaya-biaya dan untuk menyediakan suatu landasan yang lebih efektif untuk bisa bersaing di pasar-pasar susu global. Kedua tujuan ini mempromosikan penggabungan dua tipe yang teridentifikasi dari penghematan-penghematan biaya-biaya. Pertama, rasionalisasi dari rantai suplai diharapkan dapat menciptakan penghematan-penghematan yang substansial. Fasilitas-fasilitas dan posisi-posisi yang duplikat dieliminasi lewat penggabungan itu. Kedua, penggabungan itu diharapkan bisa membuat FCG mampu merealisasikan skala ekonomis, yang berarti biaya rata-rata, yang berarti juga harga jual rata-rata per satu unit output menjadi murah.
Pendirian FCG waktu itu diharapkan bisa meningkatkan kemampuan dari industri susu SB untuk bersaing di pasar-pasar internasional. FCG cocok dengan definisi dari suatu generasi baru dari koperasi dalam banyak hal: (1) koperasi tersebut dimiliki dan diawasi oleh pemakai (dengan pemberian suara berdasarkan jumlah susu yang diserahkan bukan berdasarkan satu orang-satu suara); (2) keuntungan-keuntungan dibagikan berdasarkan pemakaian; (3) FCG bukan sepenuhnya suatu koperasi berdasarkan keanggotaan karena koperasi itu harus menerima pemasok-pemasok baru; (4) FCG punya suatu hubungan kontraktual dengan produsen-produsennya yang harus punya satu bagian dari stok susu FCG untuk setiap kilo dari susu yang akan diserahkannya.
Karakteristik penting lainnya dari FCG adalah bahwa koperasi tersebut mempunyai suatu fokus yang kuat pada pembuatan produk-produk yang bervariasi yang menciptakan kesetiaan pembeli dan harga premium.
AWB juga memiliki suatu sejarah yang panjang. Didirikan oleh pemerintah Australia pada tahun 1939 dan memberikan otoritas untuk mengekspor gandum. Pada tahun 2001 AWB ekspor lebih dari 15 juta mt, gandum dan mempunyai pembeli-pembeli di lebih dari 40 negara. AWB punya saham 3% dari jumlah ekspor dan 12% dari ekspor pertanian Australia. Di dalam konteks Australia dan pasar gandum global, AWB adalah pemain utama. Pada tahun 2001, AWB memegang saham terbesar kedua (17%) dari penjualan-penjualan di pasar gandum global.
Peterson (2005), mengatakan bahwa koperasi harus memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dibandingkan organisasi-organisasi bisnis lainnya untuk bisa menang dalam persaingan di dalam era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini. Keunggulan kompetitif disini didefinisikan sebagai suatu kekuatan organisasional yang secara jelas menempatkan suatu perusahaan di posisi terdepan dibandingkan pesaing-pesaingnya. Faktor-faktor keunggulan kompetitif dari koperasi harus datang dari: (1) sumber-sumber tangible seperti kualitas atau keunikan dari produk yang dipasarkan (misalnya formula Coca-Cola Coke) dan kekuatan modal; (ii) sumber-sumber bukan tangible seperti brand name, reputasi, dan pola manajemen yang diterapkan (misalnya tim manajemen dari IBM); dan (iii) kapabilitas atau kompetensi-kompetensi inti yakni kemampuan yang kompleks untuk melakukan suatu rangkaian pekerjaan tertentu atau kegiatan-kegiatan kompetitif (misalnya proses inovasi dari 3M). Menurutnya, salah satu yang harus dilakukan koperasi untuk bisa memang dalam persaingan adalah menciptakan efisiensi biaya. Tetapi ini juga bisa ditiru/dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lain (non-koperasi). Jadi, ini bukan suatu keunggulan kompetitif yang sebenarnya dari koperasi. Menurutnya satu-satunya keunggulan kompetitif sebenarnya dari koperasi adalah hubungannya dengan anggota. Misalnya, di koperasi produksi komoditas-komoditas pertanian, lewat anggotanya koperasi tersebut bisa melacak bahan baku yang lebih murah, sedangkan perusahaan non-koperasi harus mengeluarkan uang untuk mencari bahan baku murah.
Loyd (2001) menegaskan bahwa koperasi-koperasi perlu memahami apa yang bisa membuat mereka menjadi unggul di pasar yang mengalami perubahan yang semakin cepat akibat banyak faktor multi termasuk kemajuan teknologi, peningkatan pendapatan masyarakat yang membuat perubahan selera pembeli, penemuan-penemuan material baru yang bisa menghasilkan output lebih murah, ringan, baik kualitasnya, tahan lama, dsb.nya, dan makin banyaknya pesaing-pesaing baru dalam skala yang lebih besar. Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, menurutnya, faktor-faktor kunci yang menentukan keberhasilan koperasi adalah: (1) posisi pasar yang kuat (antara lain dengan mengeksploitasikan kesempatan-kesempatan vertikal dan mendorong integrasi konsumen); (2) pengetahuan yang unik mengenai produk atau proses produksi; (3) sangat memahami rantai produksi dari produk bersangkutan; (4) terapkan suatu strategi yang cemerlang yang bisa merespons secara tepat dan cepat setiap perubahan pasar; dan (5) terlibat aktif dalam produk-produk yang mempunyai tren-tren yang meningkat atau prospek-prospek masa depan yang bagus (jadi mengembangkan kesempatan yang sangat tepat).
Berdasarkan penelitian mereka tehadap perkembangan dari koperasi-koperasi pekerja di AS Lawless dan Reynolds (2004) memberikan beberapa kriteria kunci dan praktek-praktek terbaik. Menurut mereka, kriteria-kriteria kunci untuk memulai suatu koperasi yang berhasil adalah sebagai berikut: (1) memiliki kepemimpinan yang visioner yang bisa “membaca” kecenderungan perkembangan pasar, kemajuan teknologi, perubahan pola persaingan, dll.; (2) menerapkan struktur organisasi yang tepat yang merefleksikan dan mempromosikan suatu kultur terbaik yang cocok terhadap bisnis bersangkutan (antara lain kondisi pasar/persiangan dan sifat produk atau proses produksi dari produk bersangkutan); (3) kreatif dalam pendanaan (jadi tidak hanya tergantung pada kontribusi anggota, tetapi juga lewat penjualan saham ke non-anggota atau pinjam dari bank); dan (4) mempunyai orientasi bisnis yang kuat. Sedangkan best practices menurut mereka adalah termasuk: (1) anggota sepenuhnya memahami industri-industri atau sektor-sektor yang mereka guleti dan kekuatan-kekuatan serta kelemahan-kelemahan dari koperasi mereka; (2) struktur organisasi atau pola manajemen yang diterapkan sepenuhnya didukung oleh anggota (sistem manajemen bisa secara kolektif atau dengan suatu struktur hirarki manajemen/dewan pengurus; (3) punya suatu misi yang didefinisikan secara jelas dan fokus; dan (4) punya pendanaan yang cukup.
Sedangkan menurut Pitman (2005) dari hasil penelitiannya terhadap kinerja berbagai macam koperasi di Wisconsin (AS), selain faktor-faktor di atas, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang melakukan hal-hal berikut ini: (1) memakai komite-komite, penasehat-penasehat dan ahli-ahli dari luas secara efektif; (2) selalu memberikan informasi yang lengkap dan up to date kepada anggota-anggotanya sehingga mereka tetap terlibat dan suportif; (3) melakukan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan bisnis dengan memakai agenda yang teratur, prosedur-prosedur parlemen, dan pengambil keputusan yang demokrasi; (4) mempertahankan relasi-relasi yang baik antara manajemen dan dewan direktur/pengurus dengan tugas-tugas dan tanggung jawab- tanggung jawab yang didefinisikan secara jelas; (5) mengikuti praktek-praktek akutansi yang baik, dan mempersentasikan laporan-laporan keuangan secara regular; (6) mengembangkan aliansi-aliansi dengan koperasi-koperasi lainnya; dan (7) mengembangkan kebijakan-kebijakan yang jelas terhadap konfidensial dan konflik kepentingan.
Keeling (2005) meneliti mengapa dalam beberapa tahun belakangan ini banyak koperasi-koperasi besar di California termasuk dua yang terkenal Tri-Valley Growers (TVG) dan the Rice Growers Association (RGA) telah tutup, sedangkan banyak lainnya sedang mengalami kesulitan-kesulitan keuangan. Perkembangan-perkembangan tersebut memberi kesan bahwa koperasi-koperasi di California mungkin semakin mengalami kesulitan untuk bersaing dalam iklim bisnis pertanian saat ini dengan persaingan yang semakin ketat dari produk-produk luar negeri termasuk dari China. Akhirnya, hasil studi tersebut mendukung hipotesis awal bahwa, RGA dan TVG tutup terutama akibat kombinasi dari sejumlah faktor berikut: (1) kurangnya pendidikan dan pengawasan dari dewan direktur/pengurus; (2) manajemen yang tidak efektif; dan (3) keanggotaan yang pasif.
Sedangkan bagi Anderson dan Henehan (2003), manajemen dan direktur yang efektif dalam arti cepat mengambil suatu keputusan yang tepat dalam merespons terhadap perkembangan-perkembangan bisnis terkait (misalnya perubahan pasar atau masuknya pesaing-pesaing baru) sangat menentukan keberhasilan suatu koperasi. Mereka harus memastikan bahwa dengan langkah-langkah yang cepat koperasi mereka bisa mendapatkan keberhasilan-keberhasilan yang maksimum. Menurut mereka, koperasi yang bisa berhasil atau paling tidak yang bisa survive dalam era persaingan yang semakin ketat ini, diantara faktor-faktor kunci lainnya, adalah yang dipimpin oleh dewan direktur berkualitas. Dan untuk mendapatkan direktur-direktur berkualitas adalah tugas para anggota untuk memilih mereka. Kemudian, dewan direktur bertanggung jawab dalam menyeleksi manajer yang berkualitas, mengembangkan suatu strategi yang kuat, dan mengimplementasikan suatu struktur keuangan yang baik. Selain itu, para anggota juga harus aktif memonitor kinerja dari koperasi, dewan dan manajemennya.
Di NM koperasi terutama di pertanian saat ini sedang mengalami perubahan akibat persaingan global yang semakin sengit dan perubahan selera konsumen. Di AS, akibat persaingan dari produk-produk pertanian dari luar negeri dan perubahan pola konsumsi, telah terjadi konsolidasi dari produksi pertanian. Pada tahun 1969 terdapat 2.730.250 petani di negara tersebut, dan pada tahun 1997 jumlahnya merosot ke 1.911.859, suatu penurunan 30%. Pada waktu yang sama, rata-rata skala usaha petani meningkat. Saat jumlah petani menurun dan jumlah produksi per petani meningkat, setiap individu pembeli produk-produk pertanian menjadi sangat penting bagi koperasi koperasi lokal pemasok dan pemasaran produk-produk pertanian. Pada waktu bersamaan, koperasi-koperasi pertanian tersebut yang menghadapi pembeli yang lebih sedikit, masing-masing dengan daya beli yang lebih besar, bersaing lebih agresif satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan pembeli/keuntungan. Industri-industri yang memasok petani (bibit, pupuk dll.) dan industri-industri pengolahan produk-produk pertanian sedang mengalami suatu periode dari konsolidasi, yang menyisakan lebih sedikit jumlah pemain untuk bersaing mendapatkan bisnis dari sisa produsen yang masih ada. Sebagai tambahan, perusahaan-perusahaan kunci di industri-industri tersebut dalam banyak kasus juga merupakan koperasi pemasok-pemasok dan pembeli-pembeli lokal produk-produk pertanian. Ini artinya pilihan menjadi lebih sedikit bagi koperasi saat harus menetapkan membeli dari dan menjual kepada siapa, yang mengurangi daya tawar dari koperasi lokal tersebut. Saat seperti ini dimana koperasi-koperasi lokal berjuang untuk menghadapi tantangan-tantangan seperti itu, banyak yang merespons dengan melakukan perubahan structural.[4]
Dari penelitian mereka, Vandeburg, dkk. (2000) menemukan banyak manajer-manajer koperasi lokal melakukan perubahan struktural dengan cara bergabung, akuisisi, bekerja sama, dan melakukan aliansi strategis dengan koperasi-koperasi lainnya atau dengan perusahaan-perusahaan berorientasi investor. Dari penemuan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa langkah-langkah seperti itu adalah sangat tetap agar koperasi-koperasi pertanian bisa survive atau tetap kompetitif dalam kondisi seperti yang digambarkan di atas.
Tetapi di atas segalanya, kualitas dari manajer atau dewan direktur sangatlah krusial. Mereka harus bisa membaca perkembangan tren-tren di pasar domestik dan global, baik yang sedang berlangsung saat ini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mereka harus bisa merespons secara cepat dan tepat setiap perubahan yang terjadi.(Barr, 2005).
Dari pengamatannya terhadap perkembangan koperasi di AS, McKenna (2001) menjabarkan sejumlah karakteristik dari koperasi yang berhasil. Diantaranya yang paling menonjol adalah: (1) menerapkan strategi yang rasional yang cocok dengan lingkungan bisnisnya yang berlaku untuk bisa tetap beroperasi; (2) mempunyai suatu visi yang lebih luas dari hanya memproduksi bahan baku (produsen perlu memahami apa artinya menanam dalam nilai tambah); (3) keputusan-keputusan didasarkan pada informasi yang kredibel; (4) keuangan baik; (5) pemilik atau dewan direktur bisa memimpin dengan baik (dewan direktur yang lebih banyak diambil dari luar bisa menaikkan kemampuannya untuk membuat keputusan-keputusan strategis) ; (6) memakai/mengerjakan manajer professional (ini juga meningkatkan kinerja koperasi); dan (6) punya keinginan menjadi “yang paling hebat di kelompoknya” vs. “menambah rantai nilai”.
Dari penelitiannya terhadap perkembangan koperasi pertanian dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello (2000) memberikan sejumlah langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian bisa berkembang dengan baik, yang antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan (6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.
Dengan membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika Sub-Sahara, Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Afrika Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya) disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka, problem yang paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota. Masih dalam kaitan ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB sering kali pemerintah melihat dan menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah dan politik. Oleh karena itu, Gentil (1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka hubungan antara pemerintah dan koperasi yang didefinisikan ulang.
Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20, 2001 di Las Vegas, Nevada (AS)[5]menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun suatu sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4) program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting; koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001, 2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi bisa maju, yakni: (i) skala usaha koperasi harus layak secara ekonomi;[6](ii) koperasi harus memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi;[7](iii) posisi koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat posisi tawar koperasi;[8]dan pendidikan dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan SDM)..
3. Potret Singkat Kinerja Koperasi di Indonesia
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada 138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit. Sedangkan menurut Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Adi Sasono, yang diberitakan di Kompas, Kamis, per 31 Mei 2007 terdapat 138.000 koperasi di Indonesia, namun 30 persennya belum aktif.[9]Informasi terakhir dari Triyatna (2009), jumlah koperasi tahun 2007 mencapai 149.793 units, diantaranya 104.999 aktif, atau sekitar 70% dari jumlah koperasi dan sisanya 44.794 non-aktif (Tabel 4). Selama periode 2006-2007, jumlah koperasi aktif tumbuh 6,1% sedangkan laju pertumbuhan koperasi tidak aktif sekitar 5,7%. Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
Tabel 4: Perkembangan Usaha Koperasi, 1998-2007*
Periode | Jumlah unit | Jumlah anggota (juta orang) | Koperasi aktif | RAT (% dari koperasi aktif | |
Jumlah | % | ||||
Des. 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 | 52.000 103.077 110.766 117.906 123.181 130.730 132.965 141.738 149.793 | .. 27,3 23,7 24,001 27,3 27,5 27,4 28,1 .. | .. .. 96.180 .. 93.800 93.402 94.818 94.708 104.999 | .. 86,3 81,0 78,9 76,20 71,50 71,0 70,1 70,00 | .. 40,8 41,9 46,3 47,6 49,6 47,4 46,7 .. |
* Lihat lampiran untuk data paling akhir (September 2008) dan menurut propinsi.
Sumber: Menegkop & UKM
Mengenai jumlah koperasi yang meningkat cukup pesat sejak krisis ekonomi 1997/98, menurut Soetrisno (2003a,c), pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi.[10]
Salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengukur kinerja koperasi adalah perkembangan volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU). Data yang ada menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut mengalami peningkatan selama periode 2000-2006. Untuk volume usaha, nilainya naik dari hampir 23,1 triliun rupiah tahun 2000 ke hampir 54,8 triliun rupiah tahun 2006; sedangkan SHU dari 695 miliar rupiah tahun 2000 ke 3,1 triliun rupiah tahun 2006. (Tabel 5). Menurut data paling akhir yang ada yang dikutip oleh Triyatna (2009), pada tahun 2007 jumlah SHU koperasi aktif mencapai 3.470 miliar rupiah sedangkan modal luar koperasi aktif sekitar 23.324 miliar rupiah. Selama periode 2006-2007, pertumbuhan SHU sekitar 7,9% dan modal luar 5,7%.
Tabel 5: Perkembangan Usaha Koperasi, 2000-2006*
Periode | Rasio modal sendiri dan modal luar | Volume usaha (Rp miliar) | SHU (Rp miliar) | SHU terhadap volume usaha (%) |
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 | 0,55 0,72 0,58 0,63 0,71 0,71 0,77 .. | 23.122 38.730 26.583 31.684 37.649 34.851 54.761 .. | 695 3.134 1.090 1.872 2.164 2.279 3.131 3.470 | 3,00 8,09 4,1 5,91 5,75 6,54 5,72 .. |
* Lihat lampiran untuk data paling akhir (September 2008) dan menurut propinsi.
Sumber: Menegkop & UKM
Memasuki tahun 2000 koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55%-60% dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah Bank Rakyat Indonesia (BRI)-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi (Soetrisno, 2003c).
Berdasarkan data propinsi 2006, jumlah koperasi dan jumlah koperasi aktif sebagai persentase dari jumlah koperasi bervariasi antar propinsi. Pertanyaan sekarang adalah kenapa jumlah koperasi atau proporsi koperasi aktif berbeda menurut propinsi? Apakah mungkin ada hubungan erat dengan kondisi ekonomi yang jika diukur dengan pendapatan atau produk domestic regional bruto (PDRB) per kapita memang berbeda antar propinsi? Secara teori, hubungan antara koperasi aktif dan kondisi ekonomi atau pendapatan per kapita bisa positif atau negatif. Dari sisi permintaan (pasar output), pendapatan per kapita yang tinggi yang membuat prospek pasar output baik, atau pasar output dalam kondisi booming, memberi suatu insentif bagi perkembangan aktivitas koperasi karena pelaku-pelaku koperasi melihat besarnya peluang pasar (ceteris paribus). Fenomena yang bisa disebut efek demand-pull. Dari sisi penawaran (pasar input; dalam hal ini petani atau produsen), pendapatan per kapita yang tinggi yang menciptakan peluang pasar atau peningkatan penghasilan bagi individu petani atau produsen bisa menjadi suatu faktor disinsentif bagi kebutuhan para petani atau produsen untuk membentuk koperasi. Fenomena yang dapat disebut supply-push.[11]
Daftar Pustaka
Affandi, Yoga (2002), “The Optimal Monetary Policy Instruments: The Case Of Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 5(3).
Aldrich, Howard dan Robert N. Stern (1984), “Resource Mobilization and the Creation of US Producer Cooperatives”, Economic and Industrial Democracy, 4:371-406
Amy M. Nagler, Dale J. Menkhaus dan Alan C. Schroeder (2004), “Institutions and Agricultural Cooperatives in Wyoming”, UWCC Staff Paper No.4, August, University of Wisconsin Center for Cooperatives
Anderson, Bruce L. dan Brian M. Henehan (2003)” What Gives Cooperatives A Bad Name,”makalah dalam the NCR 194 Meeting, Oktober, Kansas City, Missouri
Anderson, Kym, Betina Dimaranan, Tom Hertel dan Will Martin (1997), “Economic Growth and Policy Reform in the APEC Region: Trade and Welfare Implications by 2005”, Asia Pacific Economic Review, 3(1).
APEC (1997), “The Impact of Trade Liberalization in APEC”, Economic Committee of APEC, Singapore: APEC Secretary
APEC (1999), “ The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asia Pacific Region”, Report by the Network for Economic Development Management, Human Resource Development Working Group, Singapore: APEC Secretary.
Baarda, J.R. (1982), “State Incorporation Statutes for Farmer Cooperatives”, Info. Report 30, USDA-Agricultural Cooperative Service, Washington, D.C.
Baldwin, Robert E. dan P. Martin (1999), “Two Waves of Globalization: Superficial Similarities, Fundamental Differences”, NBER Working Paper NO.W6904, NBER, Cambridge Mass.
Bank Dunia (2000a), Development Indicators 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2000b), Global Economic Prospects and the Developing Countries 2000, Washington, D.C.
Bank Dunia (2003), Development Indicators 2003, Washington, D.C.
Barr, Terry N. (2005), “Trends in Global Market and Implications for Farm Policy and Cooperatives”, makalah dalam the 8th Annual Farmer Cooperatives Conference, November 7-8, USA
Berger, Peter L. (1997), “Four Faces of Global Culture”, National Interest, 49.
Berger, Peter L. dan Samuel P. Huntingdon (ed.)(2002), Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, Oxford: Oxford University Press.
Birchall, Johnston (1997), The International Co-operative Movement, Manchester: Manchester University Press.
Boediono (1998),. “Penggunaan Suku Bunga Sebagai sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli.
Bonin, John P., Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), “Theoretical and Empirical Studies of Producer Cooperatives: Will Ever the Twain Meet?”, Journal of Economic Literature, 31: 1290-1320
Bora, Bijit, Lucian Cernat, dan Alessandro Turrini (2002), “Duty and Quota-Free Access for LDCs: Further Evidence from CGE Modelling”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.14, New York dan Geneva: UNCTAD
Braverman, Avishay, J. Luis Guasch, Monika Huppi, dan Lorenz Pohlmeier (1991), ”Promoting Rural Coperatives in Developing Countries. The Case of Sub-Saharan Africa”, World Bank Discussion Papars, No.121, April, Washington, D.C.: The World Bank.
Cable, Vincent (1999), “Globalization and Global Governance”, Chatham House Papers, London: Royal Institute of International Affairs.
Chamard, John dan Tom Webb (2004), “Learning to Manage the Co-operative Difference”, makalah dalam the 12th IAFEP conference, Halifax, Nova Scotia, Juli 8-10.
Chowdhury, Anis, dan Hermanto Siregar (2004), “Indonesia’s Monetary Policy Dilemma–Constraints Of Inflation Targeting”, The Journal Of Developing Areas, 37(2).
Conry, E.J., G.R. Ferrera dan K.H. Fox (1986), The Legal Environment of Business, Dubuque, IA: Wm. C. Brown.
Crook, Clive (2001), “Globalization and its Critics”, The Economist, 29, September.
Cummins, David E. (1993), “Corn Belt Grain Cooperatives Adjust to Challenges of 1980s, Poised for 1990s,” ACS Research Report Number 117. August, Washington, D.C.:United States Department of Agriculture, Agricultural Cooperative Service.
Eurostat (2001), “A Pilot Study on Co-operatives, Mutuals, Associations and Foundations”, Luxembourg: Eurostat.
Feridhanusetyawan, Tubagus (1997), “Trade Liberalization in Asia Pacific: A Global CGE Approach”, The Indonesian Quarterly, XXV(4).
Feridhanusetyawan Tubagus dan Mari Pangestu (2003), “Indonesian Trade Liberalization: Estimating The Gains”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1).
Feridhanusetyawan, Tubagus, Mari Pangestu, dan Erwidodo (2002), “Effects of AFTA and APEC Trade Policy Reform on Indonesia Agriculture”, dalam Randy Stringer, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetyawan, dan Kym Anderson (ed.), Indonesia in a Reforming World Economy: Effects on Agriculture, Trade and the Environment, Center for International Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide.
Friedman, Thomas (2000), The Lexus and the Olive Tree, London: HarperCollins.
Friedman, Thomas (2002), Memahami Globalisasi; Lexus dan Pohon Zaitun, Bandung: ITB
Furlough, Ellen dan Carl Strikwerda (ed.)(1999), Consumers Against Capitalism? Consumer Cooperation in Europe. North America and Japan, 1840-1990, Lanham, MI.: Rowman & Littlefield
Gentil, Dominique (1990), ”Support of Informal Self-Help and Cooperative Groups”, makalah dalam Seminar Bank Dunia mengenai ”Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.: the World Bank.
Giddins, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gilbert, J. R. Scollay dan T. Wahl (1999), “An APEC Food System: Implications for Welfare and Income Distribution by 2005”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Hakim, Abdul (2004), Ekonomi Pembangunan, Cetakan kedua, September, Yogyakarta: EKONISIA.
Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hansmann, Henry (1996), The Ownership of Enterprise, Cambridge, MA: Belknap Press.
Hanson, J.M. (2001), “A New Cooperative Structure for the 21 Processing Cooperative Law”, makalah dalam the Rocky Mountain Farmers Union Leadership Roundup, Cheyenne, WY., 22 Sept.
Hariyono (2003), “Koperasi Sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi Pancasila”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(4), Juli.
Hendar dan Kusnadi (2005), Ekonomi Koperasi, edisi kedua, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.
Hill, Roderick (2000), “The Case of Missing Organizations: Co-operatives and the Textbooks”, Journal of Economic Education, 31(3): 281-95
Hirst, Paul dan Grahame Thompson (1999), Globalization in Question: The International Economy and The Possibilities of Governance, edisi ke 2, Cambridge: Polity Press.
ICA (1998a), “Statistics and Information on European Co-operatives”, Geneva: International Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.)
ICA (1998b), “Latest ICA Statistics of July 1, 1998”, Geneva: International Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.)
ICA (2006), Annual Report 2006, Geneva: International Co-operative Alliance (http://www.coop.org/statistics.html.).
Ingco, Merlinda D. (1997), “Has Agricultural Trade Liberalization Improve Welfare in the Least-Developed Countries? Yes”, Policy Research Working Paper No.1748, April, Washington, D.C.: The World Bank.
Irawan, Ferry dan Sugiharso Safuan (2004), “Kebijakan Moneter, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi: Pengujian Hipotesis Ekspektasi Rasional dengan Analisis VAR”, makalah dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI.
Jatnika, Firman dan Sugiharso Safuan (2004), “Pengaruh tingkat suku bunga domestik riil terhadap nilai tukar riil dan cadangan devisa di Indonesia periode 1992.1-2002.12”, makalah, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI.
Jones, Derek C. (1979), “U.S. Producer Cooperatives: The Record to Date”, Industrial Relations, 18:342-57
Jossa, Bruno (2005), “Marx, Marxism and the Cooperative Movement”, Cambridge Journal of Economics, 29:3-18.
Kalmi, Panu (2006),” The Disappearance of Co-operatives from Economics Textbooks”, Working Papers W-398, February, Helsinki School of Economics.
Keeling, Jennifer J. (2005), “Lessons in Cooperative Failure: The Rice Growers Association Experience”, Working Paper, Department of Agricultural and Resource Economics University of California, Davis
Khor, Martin (2002), Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Seri Kajian Global, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Klinedinst, Mark dan Hitomi Sato (1994), “The Japanese Cooperative Sector”, Journal of Economic Issues, 28(2): 509-17
Krugman, P. (1995), “Growing World Trade: Causes and Consequences”, Brookings Paper on Economic Acticity, 1.
Lawless, Greg dan Anne Reynolds (2004), “Worker Cooperatives: Case Studies, Key Criteria & Best Practices”, UWCC Staff Paper No.3, July, University of Wisconsin Center for Cooperatives, Madison.
Lindstad, Olav (1990), “Cooperatives as Tools for Development”, makalah dalam makalah dalam Seminar Bank Dunia mengenai ”Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.: the World Bank.
Lipsey, Richard G. (1980), An Introduction to Positive Economics, London: Weidenfeld and Nicolson
Llosa, Vargas (2000), “Liberalism in the New Millennium”, dalam Ian Vàsquez (ed.), Global Fortune: The Stumble and Rise of World Capitalism, Washington, D.C.: Cato Institute.
Loyd, Bernard (2001), “Positioning for Peformance: Reshaping Co-ops for Success in the 21st Century”, makalah dalam Farmer Co-operative Conference, Oktober 29, Las Vegas, McKinsey & Company
Mander, Jerry, Debi Barber, dan David Korten (2003), “Globalisasi Membantu Kaum Miskin?”, dalam International Forum on Globalization, “Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Seri Kajian Global, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
McKenna, Thomas (2001), “What’s the Value of Cooperatives?”, makalah dalam Farmer Cooperatives Conference”, Oktober 29-30, Las Vegas.
Moene, Karl Ove dan Michael Wallerstain (1993), “Unions versus Cooperatives”, dalam Samuel Bowles, Herbert Gintis, dan Bo Gustafsson (eds.), Markets and Democracy Participation, Accountability and Efficiency, Cambridge University Press.
Mubyarto (2000), Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta: BPFE. Mulyo, Jangkung Handoyo (2004), ” Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaan Gerakan Koperasi”, INOVASI, 2(XVI), November
Muelgini, Yoke (2004), ”Respons komponen-komponen permintaan agregat terhadap kebijakan moneter Indoneia”, makalah dalam Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Desember, Jakarta: Program Studi Ilmu Ekonomi Pascasarjana FEUI dan ISEI
Mutis, Thoby (2001), ”Satu Nuansa, Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan”, Kompas, 29 September.
Nafziger, E. Wayne (1997), The Economics of Developing Countries, International Edition, edisi ke 3, Prentice-Hall International, Inc.
Nayyar, D. (1997), “Globalization: The Past in Our Future, Penang: Third World Network.
Nello, Susan Senior (2000), “The Role of Agricultural Cooperatives in the European Union: A Strategy for Cypriot Accession?”, EUI Working Paper RSC No.2000/42, Robert Schuman Centre for Advanced Studies, European University Institute, Florence.
North, D.C. (1990). Institutional Change, and Economic Performance, Cambridge: Cambridge University Press.
Partomo, Tiktik Sartika dan Abd. Rachman Soejoedono (2002), Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi, edisi kedua, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Peterson, Chris (2005), “Searching for a Cooperative Competitive Advantage”, mimeo, Michigan State University.
Pitman, Lynn (2005), “Cooperatives in Wisconsin”, mimeo, University of Wisconsin Center for Cooperatives. Madison.
Pohlmeler, Lorenz (1990), “Recent Developments in the World Bank’s Approach to Cooperative Support in Africa”, makalah dalam the World Bank Seminar on “Donor Support for the Promotion of Rural Cooperatives in Developing Countries: Special Emphasis SubSaharan Africa”, Januari 16-17, Washington, D.C.
Raghavan, Chakravarty (1990), “Recolonization: The Uruguay Round, GATT and the South, Penang: Third World Network
Rahardjo, Dawam M. (2002a), “Development Policies in Indonesia and the Growth of Cooperatives”, Prisma, The Indonesian Indicator, No.23.
Rahardjo, Dawam M. (2002b), “Apa Kabar Koperasi Indonesia”, Kompas, Jumat, 9 Agustus.
Rodrik, D. (1999), The Global Economy and Developing Countries: Making Openness Work, Washington, D.C.: Overseas Development Council.
Ropke, Jochen (1985), The Economic Theory of Cooperative Enterprises in Developing Countries. With Special Reference of Indonesia, Marburg: University of Marburg.
Rosyidi, Suherman (1996), Pengantar Teori Ekonomi. Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro & Makro, edisi revisi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Rusidi dan Maman Suratman (2002), Bunga Rampai 20 Pokok Pemikiran Tentang Koperasi, Institut Manajemen Koperasi Indonesia, Bandung. Sadono, Sukirno (1985), Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan, Jakarta: FE-UI.
Ruttan, Vernon, W. (2002), ”Social science knowledge and institutional innovation”, Department of Applied Economics, College of Agriculture, Food, and Environmental Science, University of Minnesota, Staff Paper P02-07, May, [http://agecon.lib.umn.edu/mn/p02-07.pdf).
Samuelson, Paul A. (1973), Economics, An Introductory Analysis, edisi ke 9, Tokyo: McGraw Hill KMgakusha, Ltd.
Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus (1992), Economics, edisi ke 14, Singapura: McGraw Hill, Ltd.
Satriawan, Elan (1997), “Prospek Sektor Pertanian Indonesia pada Era Pemanasan Global”, Media Ekonomi, 4(2).
Scollay, R. dan J. Gilbert (1999a), “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalization: An Overview of CGE Assessments”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert (1999b), “An APEC Food System: Trade and Welfare Implications by 2005”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert (2000) “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalization: An Overview of CGE Assessments”, mimeo, APEC Study Center, New Zealand.
Scollay, R. dan J. Gilbert (2001), “An Integrated Approach to Agricultural Trade and Development Issues: Exploring the Welfare and Distribution Issues”, Policy Issues in International Trade and Commodities Series No.11, New York dan Geneva: UNCTAD
Shankar, Ravi dan Garry Conan (2002), Second Critical Study on Cooperative Legislation and policy Reform, New Delhi: ICA, RAPA.
Shavaeddin, S.M. (1994), “The Impact of Trade Liberalization on Export and GDP Growth in Least Developed Countries”, Discussion Paper No.85, Geneva: UNCTAD.
Soetrisno, Noer (2001), “Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat”, Instrans, Jakarta Stiglitz, Joseph (2006), Making Globalization Work, New York: W.W. Norton & Company.
Soetrisno, Noer (2003a), ”Pasang Surut Perkembangan Koperasi di Dunia dan Indonesia”, makalah, Jakarta.
Soetrisno, Noer (2003b), “Koperasi Indonesia: Potret dan Tantangan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(5), Agustus.
Soetrisno, Noer (2003c), “Wajah Koperasi Tani dan Nelayan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis”, Jurnal Ekonomi Rakyat, II(5), Agustus.
Solikin (2004), “Fluktuasi Makroekonomi dan Respons Kebijakan yang Optimal di Indonesia”, Working Paper PPSK – Bank Indonesia.
Subyakto, Harsoyono dan Bambang Tri Cahyono (1990), Ekonomi Koperasi II, Jakarta: Karunika.
Sugiharto (2007), Peran Strategis BUMN dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Hari Ini dan Masa Depan, PT Elex Media Komputindo dan BUMN Executive Club, Jakarta.
Sumarsono, Sonny (2003), Manajemen Koperasi. Teori dan Praktek, Jakarta: Graha Ilmu.
Suryana (2000), Ekonomi Pembangunan. Problematika dan Pendekatan, Jakarta: Salemba Empat.
Suwandi, Ima (1985), Koperasi, Organisasi Ekonomi Yang Berwatak Sosial, Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Tambunan, Tulus T.H. (2004), Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus T.H. (2006), Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama hingga Pasca Krisis, Jakarta: P>T. Quantum Pustaka.
Tjager I. Nyoman dan Yudi Pramadi (1997), “Pasar Modal Dalam Menghadapi Persaingan Internasional Pada Era Globalisasi”, dalam Marzuki Usman, Singgih Riphat dan Syahrir Ika (ed.), Peluang dan Tantangan Pasar Modal Indonesia Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Institut Bankir Indonesia bekerja sama dengan Jurnal Keuangan dan Moneter.
Todaro, Michael P. Economic Development, semua edisi, Addison-Wesley Publishing Company.
Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd..
Trechter, David (2005), “A Neo-Institutional Assessment of Cooperative Evolution: Comparing the Australian Wheat Board and the Fonterra Dairy Group”, University of Wisconsin at River Falls, Murray McGregor and Roy Murray-Prior, Muresk Institute of Agriculture, dan Curtin Institute of Technology, Western Australia.
Triyatna, Stefanus Osa (2009), “Koperasi. Dekopin Sudah Babak Belur”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 7 Juli 2009, hal.21.
Turtiainen, Turto dan J.D.Von Pischke (1986), “Investment and Finance in Agricultural Service Cooperatives”, World Bank Technical Paper No.50, April, Washington, D.C.: the World Bank
UNCTAD (1997), Trade and Development Report 1997, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development.
UNCTAD (1999), Trade and Development Report 1999, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development.
Vandeburg, Jennifer M, Joan R. Fulton, Susan Hine, dan Kevin T. McNamara (2000), “Driving Forces and Success Factors for Mergers, Acquisitions, Joint Ventures, and Strategic Alliances among Local Cooperatives”, makalah dalam the NCR-194 Annual Meeting, December 13, Las Vegas, Nevada
Verhagen, K. (1984), Cooperation for Survival, Amsterdam.
Warman, Marc (1994), “Cooperative Grain Marketing: Changes, Issues, and Alternatives,” ACS Research Report 123, April, Washington, D.C.: United States Department of Agriculture, Agricultural Cooperative Service.
Whyte, William Foote dan Kathryn King Whyte (1991), Making Mondragon: The Growth and Dynamics of the Worker Cooperative Complex, Ithaca, NY: ILR Press.
Widiyanto (1996), “Profil Keunggulan Bersaing KUD Jatinom”, laporan penelitian, Semarang: BPMA-Undip.
Widiyanto, Ibnu (1998), “Koperasi sebagai Pelaksana Distribusi Barang: Realita dan Tantangan (Sebuah Pendekatan Pragmatis)”, makalah dalam NETSeminar, “Merancang dan Memelihara Jaringan Distribusi Barang Yang Tangguh Dan Efisien Di Indonesia, 1-5 September, Forum TI-ITS, Semarang.
Wolf, Martin (2004), Why Globalization Works, New Haven dan London: Yale University Press.
Young, Linda M. dan Karen M. Huff (1997), “Free Trade in the Pacific Rim: On What Basis?”, dalam Thomas W. Hertel (ed.), Global Trade Analysis: Modelling and Applications, Cambridge University Press.
Zeuli, Kimberly A dan Robert Cropp (2005), Cooperatives: Principles and Practices in the 21st Century, A1457, edisi ke-4, University of Wisconsin, Madison.
Zuvekas, Clarence, Jr. (1979), Economic Development: An Introduction, New York: St. Martin’s..
Lampiran
Sumber: Menegkop & UKM
[1] Seminar Nasional Perkembangan Koperasi di Indonesia: Prospek dan Tantangan, 15 Agustus 2009, Center for Industry, SME & Business Competition Studies/Ilmu Ekonomi, FE-USAKTI, Jakarta.
[2] Di Inggris, bentuk koperasi-koperasi tradisional adalah yang disebut 'bona fide co-operative' dibawah undang-undang Industrial and Provident Societies. Namun demikian, sejak tahun 1980an banyak koperasi yang masuk di dalam Undang-undang perusahaan, yang dibatasi oleh saham-saham atau oleh garansi. Dalam suatu upaya untuk tetap bisa bertahan, banyak koperasi yang mengadopsi prinsip dari ‘kepemilikan bersama’, dan suatu saham modal nol atau nominal, bersama dengan suatu ketentuan yang menetapkan pembubaran altruistik. Ini artinya bahwa koperasi tidak dapat diakhiri dan aset-asetnya didistribusikan untuk keuntungan pribadi. Fasilitas untuk ‘mengunci’ secara legal aset-aset dari sebuah koperasi dengan cara ini mulai diberlakukan pada tahun 2004.
[3] Di AS, kebanyakan koperasi adalah dalam bentuk perusahaan-perusahaan P.T., tetapi bentuk-bentuk legal lainnya juga digunakan. Ada banyak koperasi yang juga membayarkan dividen kepada anggota sesuai saham mereka di koperasi. Untuk koperasi-koperasi yang tidak mengeluarkan dividen, surplus dikembalikan ke anggota-anggotanya dalam bentuk bonus atau lainnya sesuai keterlibatan mereka di dalam koperasi.
[4]Lihat misalnya Cummins (1993) dan Warman (1994).
[5] Hasil lengkapnya (termasuk makalah-makalah dan/atau power point- power point dari para pembicara) dari konferensi ini dan konferensi pada tahun-tahun sebelumnya atau sesudahnya dapat dilihat di alamat berikut ini: www.wisc.edu/uwcc (University of Wisconsin Center for Cooperatives).
[6] Dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen sangat penting untuk menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan ekonomi anggota.
[7] Didaratan Eropa koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik koperasi yakni "Credit Agricole" di Perancis, RABO-Bank di Netherlands Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan tetap atau bukan adalah "potensial customer-member" dari koperasi kredit (Soetrisno, 2001).
[8] Soetrisno (2001) mengamati bahwa baik di NSB maupun di NM ada contoh-contoh koperasi yang berhasil yang mempunyai kesamaan yaitu koperasi peternak sapi perah dan koperasi produsen susu. Misalnya, keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik besar maupun kecil, di NM dan NSB nampaknya terletak pada keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi. Dengan demikian koperasi terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.
[9] Menurutnya, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan modal yang dialami banyak koperasi untuk mengembangkan usaha mereka.. Hal ini merupakan salah satu imbas kenaikan harga bahan bakar minyak tahun 2004 lalu, sehingga anggota koperasi kekurangan modal untuk tabungan. Penyebab lainnya, pemerintah kurang menjalankan perannya sebagai pembina koperasi, dan kebijakan yang digulirkan tidak mendukung pengembangan koperasi rakyat. Ia memberi contoh, kebijakan pemerintah yang menyebabkan koperasi pasar tradisional semakin tersingkir oleh pasar modern. Menurutnya, perbankan juga kerap tidak berpihak pada koperasi kecil. Koperasi kecil kerap kesulitan mendapat pinjaman modal untuk pengembangan usaha.
[10] Namun demikian, menurut Soetrisno (2001), pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi koperasi..
[11] Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan, kenapa, menurut data BPS, jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) setiap tahun meningkat? Apakah peningkatan tersebut mencerminkan perkembangan kewirausahaan (demand-pull) atau suatu refleksi dari tingginya jumlah pengangguran atau tingkat kemiskinan (supply-push).
0 komentar:
Posting Komentar