Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan pusat pertumbuhan orde pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi penduduk di daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar kota tersebut. Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari daerah perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro, pertumbuhan penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa telah dijuluki sebagai urban island. Mereka datang ke Kota Surabaya karena di tempat tersebut banyak pilihan untuk memperoleh berbagai kesempatan dalam upaya memperbaiki kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan berbagai motif, meskipun motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan. Mereka mempunyai persepsi dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada di daerah asal, terutama perdesaan. Meskipun demikian, pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Surabaya selain disebabkan oleh proses migrasi, juga karena pertambahan alami. Kota Surabaya itu sendiri telah berkembang dalam proses interaksi dari komponen keadaan penduduk, teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga telah melahirkan “ ecological urban complex”.
Sejalan dengan kondisi yang demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya kota-kota metropolitan yang lain, muncul kamajemukan masyarakat. Sebagian dari sekmen masyarakat yang majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal di daerah perkampungan kumuh baik yang legal maupun yang ilegal. Penduduk yang bermukim di kampung yang ilegal lazim disebut penduduk liar atau penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut telah menjadi fenomena sosial yang universal, artinya telah terjadi di banyak negara. Keberadaan masyarakat kumuh tersebut merupakan realita sosial yang tidak dapat dihilangkan, sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya masih hidup dalam kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam kehidupan sosial-ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah terjadi di Surabaya sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan kondisi sosial-ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut telah menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada strata sosial-ekonomi bawah.
Pada tataran regional, adanya proses kaitan (lingkage) yang kurang harmonis antara Kota Surabaya dengan daerah belakang telah berlangsung puluhan tahun. Kehidupan mereka di Surabaya telah ditunjukkan oleh rendahnya kualitas pendidikan migran non-permanen dan umumnya mereka bekerja sebagai buruh dan sebagian lain berusaha pada sektor informal. Sepanjang pekerjaan di sektor informal maupun buruh murah masih ada demand di masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi menguntungkan, maka keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi tukang becak, menjadi pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan murah, menjadi buruh babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis pekerjaan yang rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.
Oleh karena itu keberadaan penduduk marginal di lingkungan permukiman kumuh Kota Surabaya merupakan suatu keniscayaan, dan tidak perlu dipertentangkan dengan upaya pemerintah daerah Kota Surabaya yang ingin meningkatkan keindahan dan kenyamanan lingkungan kota. Pemerintah Kota Surabaya tidak dapat melarang seseorang yang ingin bermigrasi, karena hak asasi manusia telah melindunginya, walaupun mereka seharusnya mematuhi perundang-undangan yang berlaku dan menghormati nilai-nilai yang hidup pada masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini kegiatan penduduk marginal di permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem dari sistem perkotaan Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di daerah kumuh antara lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari, Kelurahan Suko Manunggal, Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan Kelurahan Waru Gunung, cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan sekitar Kota Surabaya seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto, meskipun mereka banyak pula yang datang dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi Jawa Timur.
Migran non-permanen yang banyak tinggal di daerah permukiman ilegal tersebut sering disebut sebagai penduduk spontan atau disebut secara popular sebagai migran musiman , ternyata masih terikat dengan kehidupan daerah asalnya. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Surabaya. Atas dasar pemilikan KTP Pemkot Surabaya telah membuat kebijakan dengan memberi prioritas dalam memperoleh atau memanfaatkan bantuan, fasilitas publik dan subsidi. Meskipun ada kebijakan yang diskriminatif namun dalam kenyataan sebagian warga musiman dapat ikut menikmatinya. Dalam hal ini terkesan bahwa pemerintah kota tidak ketat antara status kependudukan dengan hak-hak warganya. Aturan kependudukan yang tidak diikuti oleh ketegasan dalam implementasinya, tentunya telah membuat kondisi yang kondusif terjadinya migrasi masuk ke Surabaya, yang pada gilirannya menimbulkan berbagai masalah perkotaan, antara lain ketidakcukupan penyediaan fasilitas sosial, munculnya konflik tanah, penurunan daya dukung lingkungan, dan meningkatnya pengangguran.
Penduduk musiman yang umumnya hidup dalam kondisi marginal, diharuskan memiliki Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM), namun untuk mengurus KIPEM, apalagi menjadi warga Surabaya tidaklah sederhana. Mereka harus mengorbankan sejumlah dana dan waktu pengurusan yang dinilai cukup memberatkan. Di samping itu, dengan tetap mempertahankan sebagai warga musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya sebagai warga di daerah asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti mereka masih tetap memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah asalnya misalnya memilih kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus tempat pemakaman. Oleh karena itu meskipun secara de fakto mereka tinggal di Surabaya, namun masih tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah terjadi arus remitan baik uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar kehidupan di Surabaya. Dalam keadaan demikian maka hal ini telah menimbulkan proses migrasi desa-kota secara “gandeng-ceneng” (chain migration). Hasil penelitian PPK-LIPI (2004) telah menunjukkan bahwa tidak semua pendatang, (meskipun telah lama tinggal di Surabaya, bahkan telah punya rumah), mempunyai KIPEM. Oleh karena itu dalam kenyataan jumlah pendatang musiman di Surabaya adalah di atas data statistik berdasarkan kepemilikan KIPEM.
Keberadaan migran non-permanen di permukiman kumuh yang menempati lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar ( squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan yang ditempatinya, seperti DAUP VIII PT.TKI dan Dinas PU[2]. Meskipun mereka tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot Surabaya maupun pemilik lahan untuk membebaskan permukiman demikian.
Munculnya permukiman liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya merupakan kelemahan managemen dalam mengelola tata ruang kota. Upaya telah dilakukan untuk mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan perbaikan kondisi lingkungan dan membuat rumah susun yang telah melibatkan partisipasi masyarakat . Upaya ini telah dinilai berhasil, meskipun belum mampu menyelesaikan persoalan menyeluruh tentang permukiman kumuh yang cenderung bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk pendatang yang ingin memperoleh perumahan murah. Banyak kendala yang dihadapi dalam penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah rumah susun bagi keluarga kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong, rendahnya minat swasta untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya yang sangat mahal. Meskipun untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi kota metropolitan Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk memfasilitasinya.
Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi pembangunan kota. Kota Surabaya telah memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati kualitasnya adalah rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu penduduk kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang relatif murah.
Isu dan Rekomendasi Kebijakan
Secara umum, pada saat ini Kota Surabaya tengah menghadapi berbagai masalah dalam tatanan masyarakat sebagai akibat ketidaksanggupan daya dukung sumberdaya kota menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat, terutama masuknya migran non-permanen dalam skala besar dan telah berlangsung lama. Hal ini telah mengakibatkan persoalan yang terkait dengan permukiman kumuh, padahal Kota Surabaya telah berkomitmen untuk mendukung program “City Without Slum”. Mengingat persoalan di kota Surabaya terkait erat dengan daerah belakang maka hubungan harmonis dalam tataran regional harus ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan kegiatan di mana pertumbuhan dan pendapatan , kesempatan kerja di perdesaan maupun di kota-kota lain yang berdekatan adalah saling membantu dan saling bermanfaat. Dengan keterpurukan kondisi ekonomi Indonesia selama ini maka persoalan yang diakibatkan oleh isu tersebut diperkirakan akan berlanjut dalam tempo yang panjang. Meskipun demikian, upaya untuk mengatasi maupun mereduksi persoalan harus tetap diupayakan. Upaya mengatasi persoalan Kota Surabaya sebagai akibat masuknya migran non-permanen yang datang dari berbagai daerah , tentu saja harus melibatkan kebijakan makro baik pada tataran nasional maupun regional, selain kebijakan yang sifatnya mikro atau spesifik.
Rekomendasi Untuk Kebijakan Makro
1. MENUJU PEMBANGUNAN DAERAH ASAL MIGRAN
Distribusi penduduk mempunyai hubungan erat dengan proses pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Dengan kata lain bahwa migrasi penduduk dapat dilihat sebagai akibat pembangunan. Daerah yang maju dalam pembangunan akan mempunyai pilihan-pilihan yang lebih baik daripada daerah yang pembangunannya masih terbatas. Mengingat bahwa orang akan selalu ingin meningkatkan kehidupannya dengan mencari akses yang lebih baik, maka ada kecenderungan bahwa orang akan melakukan migrasi dari daerah yang mempunyai ketegori negatif menuju daerah yang masuk kategori positif. Oleh karena itu motif utama migrasi ke daerah perkotaan akan dilatarbelakangi dengan alasan ekonomi di samping ada alasan non-ekonomi. Variasi demand yang diciptakan oleh pembangunan ekonomi pada akhirnya juga akan menciptakan sekmentasi dalam pasar kerja. Pembangunan yang urban bias telah menempatkan Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar ke dua di Indonesia, sehingga telah menjadi pusat peradaban. Pembangunan investasi yang pesat di Kota Surabaya selain telah meningkatkan kemampuan sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan, namun hal ini telah menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan dengan daerah lain di seputar Surabaya . Sebagai akibatan atas hal tersebut antara lain telah menimbulkan mobilitas penduduk non-permanen dari daerah perdesaan ke Surabaya dan telah menimbulkan dampak negatif berupa permukiman kumuh.
Mengingat bahwa Kota Surabaya tidak mungkin mampu menghentikan laju arus mobilitas tersebut, maka perlu diambil kebijakan untuk mengarahkan arus migrasi tersebut dengan meningkatkan peran zona atau pusat pertumbuhan orde kedua dan zona orde ketiga, terutama di Jawa Timur. Dengan meningkatnya peran pusat pertumbuhan tersebut maka arus mobilitas non-permanen yang kurang selektif dapat dihambat. Migran non-permanen yang umumnya datang dari daerah perdesaan akan terserap di kota-kota lain seperti Kediri, Malang, Madiun, Jember, Lumajang, Sragen, Dampit dan Bojonegoro. Untuk dapat meningkatkan peran kota-kota di luar Surabaya, tentunya perlu langkah kongkrit berupa kemudahan bagi investor ( antara lain keringanan pajak dan kredit) agar menanamkan modalnya untuk usaha yang sifatnya padat karya. Dengan kebijakan demikian akan mempercepat proses defusi urbanisasi ke daerah hinterland, yang pada gilirannya dapat bermuara pada peningkatan daya serap tenaga kerja perdesaan.
Daerah perdesaan sebaiknya meningkatkan perbaikan prasarana umum dalam bentuk jalan, pusat pelayanan masyarakat, penyediaan air bersih, penyebaran sekolah dan pusat kesehatan. Dengan perbaikan pilihan-pilhan yang dapat diperoleh di perdesaan maka akan membuat orang lebih berkeinginan untuk tetap tinggal. Selain itu investasi di Kota Surabaya harus lebih selektif yaitu hanya untuk industri padat modal (misalnya elektronik, perakitan mobil dan jasa perbankan) yang memerlukan tenaga kerja terdidik dan terampil. Adapun industri yang sifatnya adalah padat karya (misalnya sandal, rokok, sepatu, dan tekstil) yang selama ini masih banyak didapati di Kota Surabaya sebaiknya untuk direncanakan agar dapat direlokasi keluar daerah. Kenyataan menunjukkan bahwa industri padat karya telah menciptakan buruh murah, umumnya tenaga kerja musiman, yang akhirnya tetap akan melestarikan permukiman kumuh. Hal ini tentunya merupakan kebijakan yang menjadi wewenang Pemda Tk.I dengan berkoordinasi dengan Pemda Tk II baik Kabupaten maupun Kota. Sejalan dengan upaya tersebut pemerintah kota (Pemko) Surabaya sebaiknya juga melakukan peningkatan program kerjasama dengan kabupaten-kabupaten sebagai daerah asal utama migran non-permanen, antara lain Gresik, Sidoardjo, Lamongan, Nganjuk, Jombang dan Bangkalan. Atas dasar semangat otonomi daerah, sifat kerjasama yang diciptakan adalah saling menguntungkan antara Pemko Surabaya dengan Kabupaten tersebut di atas.
2. MEMFASILITASI MOBILITAS ULANG-ALIK
Penduduk yang bekerja di Surabaya asal kabupaten-kabupaten seputarnya (hinterland) sebaiknya tidak tinggal di kota Surabaya tetapi cukup dengan melakukan mobilitas ulang-alik, yaitu tetap tinggal di desa asalnya. Hal ini dapat terjadi apabila sarana dan prasarana transportasi massal telah memadai. Upaya ke arah itu telah dilaksanakan baik trnasportasi dengan kereta api, bus maupun ferry. Oleh karena itu pelaksanaan program yang sudah ada tersebut direkomendasikan untuk terus ditingkatkan kapasitas, keamanan dan kenyamanannya, antara lain dengan memperhatikan aspek teknologi dan kepentingan masyarakat. Selain itu ongkos tranportasi yang terjangkau, orang akan lebih senang menggunakan alat transportasi publik, dan akan merangsang tinggal di luar Surabaya karena harga tanah, harga rumah maupun keadaan lingkungan yang lebih kondusif daripada tinggal di Kota Surabaya.
3. PEMIKIRAN MANAGEMEN KOTA JANGKA PANJANG
Dalam jangka panjang dan dalam skala yang lebih makro, bahkan pembangunan di P. Jawa perlu dirancang dalam satu kosep pengelolaan “Java City Island”. Hasil sensus penduduk menunjukkan adanya kecenderungan penduduk Jawa yang tinggal di kota terus mengalami peningkatan. Dalam tahun 1961 dan tahun 2000, jumlah penduduk perkotaan di Jawa masing-masing mencapai 15,6 % dan 48,7 %. Dalam tempo 39 tahun penduduk Jawa yang tinggal di kota telah naik 33,1 %. Keharmonisan pembangunan perkotaan dapat terwujud manakala ada pengelolaan pembangunan Jawa secara terintegrasi. Dengan memperhatikan adanya kecenderungan bahwa angka urbanisasi di Jawa yang terus mengalami kenaikan secara signifikan maka keberadaan Kota Metropolitan Surabaya telah menempati bagian dari daerah perkotaan di Jawa. Dalam konteks ini untuk memecahkan persoalan perkotaan di Surabaya seharusnya juga dilihat secara makro dan komprehensif. Hal ini dapat terwujud manakala ada konsep pengelolaan pembangunan Jawa secara terintegrasi, meskipun pada saat ini telah ada konsep otonomi daerah. Untuk itu dalam makalah ini perlu dilontarkan pemikiran untuk melakukan studi eksplorasi yang tujuannya adalah mencari model bagaimana mengelola Jawa sebagai kesatuan managemen, sehingga dalam pengelolaannya lebih efisien dan dapat melihat keterkaitan isu perkotaan secara makro Jawa.
Rekomendasi Untuk Kebijakan Mikro
4. ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Kesempurnaan sistem administrasi kependudukan memegang peranan penting dalam mendukung program kebijakan pengelolaan penduduk. Dengan penyempurnaan sistem administrasi kependudukan maka data dasar kependudukan, antara lain tentang mobilitas penduduk akan dapat diketahui secara akurat. Salah satu program administrasi kependudukan adalah pendataan penduduk musiman yang disebut program KIPEM. Mengingat bahwa program KIPEM belum efektif untuk menginventarisir penduduk musiman dan manfaat yang tidak jelas atas program tersebut maka perlu dikritisi tentang perannya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak semua warga pendatang yang sifatnya musiman mempunyai kartu KIPEM. Warga pendatang bahkan masih banyak yang mempertahankan kartu identitas daerah asalnya walaupun telah tinggal lama di Kota Surabaya, dengan mengutarakan berbagai alasan. Seandainya warga pendatang musiman merasakan manfaat yang nyata dengan pemilikan KIPEM maka secara otomatis mereka akan mengurusnya. Isu tersebut perlu diangkat guna menghilangkan pemikiran adanya dikhotomi antara warga Surabaya dengan migran non-permanen atau sering disebut warga pendatang musiman, yang telah mengarah pada perlakuan diskriminatif. Fakta sosial menunjukkan bahwa penduduk musiman adalah warga negara Indonesia yang hidupnya kurang beruntung yang tentunya mereka juga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh perlindungan dari pemerintah dan hak untuk dapat berkembang, antara lain di Kota Surabaya. Manakala program KIPEM memang bermanfaat bagi pendatang musiman, tentunya perlu peningkatan sosialisai peraturan tersebut baik di kantong-kantong permukiman di Kota Surabaya maupun daerah potensial tempat asal mereka.
5. MENGHILANGKAN HUNIAN SPONTAN
Kesalahan telah terjadi dimana pada saat pertama kali muncul hunian spontan atau hunian ilegal di suatu tempat, namun terus dibiarkan keberadaannya bahkan selanjutnya mendapat fasilitas publik. Seandainya sedini mungkin kontrol terhadap lingkungan permukian dijalankan dengan penuh kedisiplinan, maka hunian ilegal dapat dicegah perkembangannya. Sebagian dari penduduk musiman tersebut telah menempati lahan bukan miliknya sehingga memperoleh predikat sebagai penghuni spontan, atau ilegal atau liar. Dilihat dari kaidah hukum positif hal ini jelas melanggar. Status sebagai hunian spontan atau liar tersebut tentunya telah menimbulkan konflik kepentingan dan telah merugikan pemilik lahan maupun Pemerintah Kota Surabaya. Dalam konteks untuk menghilangkan hunian tersebut perlu diambil langkah kebijakan : (a) Melakukan peningkatan inventarisasi status aset lahan baik milik publik, perusahaan maupun perorangan; (b) Melakukan kontrol oleh instansi tingkat paling bawah secara tegas, ketat agar perluasan hunian liar dapat dihentikan; (c) Untuk menegakkan supremasi hukum sebaiknya permukiman liar harus dihilangkan namun perlu dicarikan jalan keluar yang tidak menimbulkan konflik. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah antara lain melakukan sosialisasi isu tersebut, kemudian perlu menindaklanjuti dengan menggalang partisipasi mereka guna mencari jalan keluar untuk mengatasinya, misalnya dengan relokasi ke rumah susun secara partisipatif.
6. PENINGKATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH
Sesuai dengan RUTRK, strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi permukiman kumuh yang legal adalah dengan program rumah susun, perbaikan kampung, dan konsolidasi tanah. Sesuai dengan hakekat pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, maka program rumah susun bagi penduduk miskin kota, termasuk migran non-permanen, harus tetap dikembangkan kendati banyak kendala yang dihadapi. Untuk merangsang tumbuhnya rumah susun, investor sebaiknya diberi berbagai kemudahan misalnya keringanan bunga bank, keringanan pajak, dan subsidi pengadaan lahan. Selain itu program pembangunan yang selama ini telah ditetapkan yaitu dengan pola 1: 3: 6 harus tetap dilakukan. Mereka yang akan menghuni golongan rumah pola 6 tersebut pada dasarnya adalah untuk tataran masyarakat bawah namun telah disubsidi oleh mereka yang mampu sehingga dapat menekan biaya.
Upaya yang selama ini pernah dilakukan tentang Kampung Improvement Programme (KIP) oleh UNEP-UNDP Tahun 1978-1980 di daerah Babakan, nampaknya perlu menjadi agenda program Pemkot Surabaya yang berkelanjutan. Pendekatan yang lebih luas daripada pembangunan fisik, antara lain meningkatkan peran masyarakat melalui kelembagaan yang ada , antara lain RW . Sejalan dengan program tersebut, untuk mengatasi penduduk miskin kota, sebagai target group, tentunya upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup hunian kumuh harus tetap ditingkatkan, antara lain penyediaan infrastruktur lingkungan , pengembangan lembaga permodalan usaha skala kecil dan penyelenggaraan pelatihan ketrampilan untuk bekal berusaha. Dalam hal ini Pemkot Surabaya sebaiknya dapat memberi kontribusi tambahan anggaran selain adanya anggaran dari APBN.
[1] Ahli Peneliti Utama di Puslit Kependudukan-LIPI. Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan tim peneliti lain yang telah memberi masukan pada waktu penysusunan makalah ini.
[2] Permikiman squatter yang ada di bantaran rela kereta api antara lain di Rw 02, Kel. Sukomanunggal, dan yang menempati bantaran sungai antara lain di Rw I, Kel.Warugunung.
0 komentar:
Posting Komentar