Judul buku : Matinya Ilmu Komunikasi
Penulis : St. Tri Guntur Narwaya
Penerbit : Resist Book
Tahun terbit : 2006
Tebal : 230 halaman
Harga buku : Rp. 28.000,00
“Seruan ini dikumandangkan tepat ketika ilmu komunikasi sedang berada di puncak kejayaannya. Saat fakultas-fakultas ilmu komunikasi dibanjiri ribuan mahasiswa, serta ratusan publikasi, seminar dan riset tentang ilmu komunikasi gencar dilakukan, seruan ini tak pelak…”
Buku yang cerdas! Ini komentar saya ketika selesai membaca buku ini. Setidaknya ada dua hal yang saya banggakan terhadap buku ini. Pertama, penulis mampu mengangkat celah permasalahan tentang paradigma penelitian komunikasi (yang sebenarnya ada di sekitar kita). Sebagai informasi, buku ini adalah hasil skripsi penulis di Fakultas Ilmu Komunikasi UNS. Dengan demikian, Anda tak perlu kaget jika sang penulis ternyata ‘membunuh’ ilmu yang selama ini dipelajarinya. Gaya tulisannya yang serakah untuk berusaha menelanjangi ilmu komunikasi ini justru semakin seru untuk dibaca.
Kedua, tulisan ini termasuk berani dalam membeberkan kegalauan riset komunikasi yang selama ini terjadi. Ditulis secara teoritis namun kritis, buku ini mampu menyihir Anda yang ingin melakukan riset komunikasi untuk menimbang-nimbang lagi paradigma apa yang hendak dipilih. Pembaca diajak untuk berwisata mengunjungi empat paradigma penelitian komunikasi yang selama ini dikenal. (mungkin belum Anda kenal). Memang, buku ini banyak menyoroti dua paradigma besar dalam ilmu sosial yakni positivisme dan konstruktivisme (yang oleh beberapa ahli seperti dipertentangkan, bahkan menjadi lawan kata). Buku ini memang sedikit melupakan dua paradigma ilmu sosial lain, yakni: postpositivisme dan paradigma kritis.
Di awal tulisannya, penulis ingin memperkenalkan terbentuknya ilmu pengetahuan sosial dan beberapa kesalahan tentang paradigma. Termasuk di dalamnya, bagaimana komunikasi bisa menjadi sebuah ilmu. Penjelasan singkat, namun cukup menjelaskan bahwa komunikasi sebagai bagian dari ilmu dan pengetahuan yang bersifat multidisipliner. Gaya bahasa yang dituturkan memang sangat ilmiah dan teoritis. Meski demikian, penulis ingin menunjukkan secara umum kapasitas komunikasi sebagai bagian dari ilmu sosial yang memang harus lepas dari nilai-nilai kepentingan. Bagian ini memang agak rumit, namun jika telaten untuk dibaca, maka buku ini bisa memberikan pemetaan yang jelas tentang konsep ilmu dan konsep pengetahuan secara lebih luas.
Bagi pembaca (mahasiswa ataupun dosen) yang selama ini berparadigma Positivisme diperbolehkan naik pitam setelah membaca tulisan di bagian kedua dan keempat. Betapa tidak, tulisan Guntur di bagian kedua bisa mengorek paradigma positivisme yang dianggapnya busuk, penuh dengan nilai kepentingan dan seringkali melakukan intervensi terhadap ilmu komunikasi.
Kedua, tulisan ini termasuk berani dalam membeberkan kegalauan riset komunikasi yang selama ini terjadi. Ditulis secara teoritis namun kritis, buku ini mampu menyihir Anda yang ingin melakukan riset komunikasi untuk menimbang-nimbang lagi paradigma apa yang hendak dipilih. Pembaca diajak untuk berwisata mengunjungi empat paradigma penelitian komunikasi yang selama ini dikenal. (mungkin belum Anda kenal). Memang, buku ini banyak menyoroti dua paradigma besar dalam ilmu sosial yakni positivisme dan konstruktivisme (yang oleh beberapa ahli seperti dipertentangkan, bahkan menjadi lawan kata). Buku ini memang sedikit melupakan dua paradigma ilmu sosial lain, yakni: postpositivisme dan paradigma kritis.
Di awal tulisannya, penulis ingin memperkenalkan terbentuknya ilmu pengetahuan sosial dan beberapa kesalahan tentang paradigma. Termasuk di dalamnya, bagaimana komunikasi bisa menjadi sebuah ilmu. Penjelasan singkat, namun cukup menjelaskan bahwa komunikasi sebagai bagian dari ilmu dan pengetahuan yang bersifat multidisipliner. Gaya bahasa yang dituturkan memang sangat ilmiah dan teoritis. Meski demikian, penulis ingin menunjukkan secara umum kapasitas komunikasi sebagai bagian dari ilmu sosial yang memang harus lepas dari nilai-nilai kepentingan. Bagian ini memang agak rumit, namun jika telaten untuk dibaca, maka buku ini bisa memberikan pemetaan yang jelas tentang konsep ilmu dan konsep pengetahuan secara lebih luas.
Bagi pembaca (mahasiswa ataupun dosen) yang selama ini berparadigma Positivisme diperbolehkan naik pitam setelah membaca tulisan di bagian kedua dan keempat. Betapa tidak, tulisan Guntur di bagian kedua bisa mengorek paradigma positivisme yang dianggapnya busuk, penuh dengan nilai kepentingan dan seringkali melakukan intervensi terhadap ilmu komunikasi.
Melalui empat sudut pandang: ontologis, metodologis, epistemologis dan aksiologis, penulis mampu melihat ‘kebobrokan’ paradigma positivisme. Paradigma ini dicela, dikritik habis-habisan dengan kata-kata yang tajam (dan penuh emosi). Seakan-akan para ahli (peneliti) dalam paradigma ini harus dimusnahkan dari muka bumi. Hati-hati! Para dosen yang masih menganut paradigma ini, perlu waspada. Anda sedang diancam oleh buku ini!
Tak hanya mengkritik, di akhir bagiannya, penulis mencoba memberikan terobosan baru terhadap paradigma penelitian komunikasi. Sudah bisa ditebak paradigma apa yang menjadi solusi. Paradigma tersebut, tak lain, Konstruktivisme, (yang dianggap penulis, selama ini penelitian dengan paradigma ini jarang digunakan). Paradigma ini dianggap paling ‘kreatif dan inovatif’ di komunikasi. Konstruktivisme diajukan penulis sebagai paradigma yang mampu menjawab persoalan-persoalan riset yang selama ini terjadi, lengkap dengan penjabaran dimensi dasar paradigma. Memang, di bagian ini, paradigma konstruktivisme banyak diagungkan dan menduduki kursi panas. Dielu-elukan! Singkatnya, penulis ingin agar para komunikasiolog (untuk menyebut orang yang konsen di bidang komunikasi-ya termasuk pembaca juga) untuk banyak meneliti melalui paradigma ini. Selamat, bagi Anda yang selama ini berparadigma konstruktivis. Kiranya buku ini cocok dan perlu Anda punyai. Dosen yang menganut paradigma ini boleh sedikit berbangga melalui senyuman Anda. Anda sedang dibanggakan oleh buku ini.
Buku ini tergolong masih hangat. Terbit Mei 2006, buku ini mampu memberikan wacana baru tentang ilmu komunikasi, khususnya terkait dengan paradigma. Meskipun ilmu komunikasi hanya menjadi srempetan kecil atas pembahasan sang penulis. Penulis lebih terbuai dengan melihat kekurangan model-model paradigma ilmu komunikasi (yang sebenarnya, paradigma tersebut tidak hanya dipakai oleh ilmu komunikasi saja). Di sisi lain, penulis ingin agar paradigma konstruktivisme juga mendapat tempat di dalam setiap riset komunikasi. Tulisan ini menjadi obsesi penulis untuk mengubah pola pikir para peneliti dan tukang riset untuk menyejajarkan paradigma yang sudah ada, kalau bisa konstruktivisme yang paling diunggulkan.
Sayangnya, sang penulis hanya melihat ilmu komunikasi berangkat dari riset paradigmanya, bukan tentang ilmu komunikasi itu sendiri. Saya menangkap, ada indikasi, jangan-jangan tulisan ini sebenarnya bukan untuk ‘mematikan’ komunikasi, tetapi melihat trend riset komunikasi saat ini. Akibatnya, antara judul buku dengan isinya ada ketidaksesuaian. Judul yang terlihat ekstrim, bisa jadi hanya pemicu untuk semakin laku terjual. (Maklum penerbitnya Resist Book). Namun, tak salah jika kita menelisik ulang bagaimana ilmu komunikasi itu terbentuk. Dan bagaimana paradigma penelitian ilmu komunikasi itu digunakan dalam penelitian. Buku ini tetap bisa menjawabnya secara tegas dan tuntas. Tak perlu takut kalau ilmu komunikasi itu mati. Kalau mati, ya dihidupkan lagi! Siapkan senjata ampuh, buku ini sebagai pengibar bendera perang antara konstruktivis dan positivis. (Anwar)
Tak hanya mengkritik, di akhir bagiannya, penulis mencoba memberikan terobosan baru terhadap paradigma penelitian komunikasi. Sudah bisa ditebak paradigma apa yang menjadi solusi. Paradigma tersebut, tak lain, Konstruktivisme, (yang dianggap penulis, selama ini penelitian dengan paradigma ini jarang digunakan). Paradigma ini dianggap paling ‘kreatif dan inovatif’ di komunikasi. Konstruktivisme diajukan penulis sebagai paradigma yang mampu menjawab persoalan-persoalan riset yang selama ini terjadi, lengkap dengan penjabaran dimensi dasar paradigma. Memang, di bagian ini, paradigma konstruktivisme banyak diagungkan dan menduduki kursi panas. Dielu-elukan! Singkatnya, penulis ingin agar para komunikasiolog (untuk menyebut orang yang konsen di bidang komunikasi-ya termasuk pembaca juga) untuk banyak meneliti melalui paradigma ini. Selamat, bagi Anda yang selama ini berparadigma konstruktivis. Kiranya buku ini cocok dan perlu Anda punyai. Dosen yang menganut paradigma ini boleh sedikit berbangga melalui senyuman Anda. Anda sedang dibanggakan oleh buku ini.
Buku ini tergolong masih hangat. Terbit Mei 2006, buku ini mampu memberikan wacana baru tentang ilmu komunikasi, khususnya terkait dengan paradigma. Meskipun ilmu komunikasi hanya menjadi srempetan kecil atas pembahasan sang penulis. Penulis lebih terbuai dengan melihat kekurangan model-model paradigma ilmu komunikasi (yang sebenarnya, paradigma tersebut tidak hanya dipakai oleh ilmu komunikasi saja). Di sisi lain, penulis ingin agar paradigma konstruktivisme juga mendapat tempat di dalam setiap riset komunikasi. Tulisan ini menjadi obsesi penulis untuk mengubah pola pikir para peneliti dan tukang riset untuk menyejajarkan paradigma yang sudah ada, kalau bisa konstruktivisme yang paling diunggulkan.
Sayangnya, sang penulis hanya melihat ilmu komunikasi berangkat dari riset paradigmanya, bukan tentang ilmu komunikasi itu sendiri. Saya menangkap, ada indikasi, jangan-jangan tulisan ini sebenarnya bukan untuk ‘mematikan’ komunikasi, tetapi melihat trend riset komunikasi saat ini. Akibatnya, antara judul buku dengan isinya ada ketidaksesuaian. Judul yang terlihat ekstrim, bisa jadi hanya pemicu untuk semakin laku terjual. (Maklum penerbitnya Resist Book). Namun, tak salah jika kita menelisik ulang bagaimana ilmu komunikasi itu terbentuk. Dan bagaimana paradigma penelitian ilmu komunikasi itu digunakan dalam penelitian. Buku ini tetap bisa menjawabnya secara tegas dan tuntas. Tak perlu takut kalau ilmu komunikasi itu mati. Kalau mati, ya dihidupkan lagi! Siapkan senjata ampuh, buku ini sebagai pengibar bendera perang antara konstruktivis dan positivis. (Anwar)
0 komentar:
Posting Komentar